Wednesday, February 7, 2018

“Penerapan Pancasila sebagai Sistem Filsafat dalam Keperawatan”

MAKALAH PANCASILA
“Penerapan Pancasila sebagai Sistem Filsafat dalam Keperawatan”
Dosen Pegampu :
1.      Dra. Ana Irhandayaningsih, M. Si
2.      Ns. Dody Setyawan, S. Kep., M. Kep
Disusun Oleh :
1.      Aini Saadah                ( 22020117120027 )
2.      Siti Khumaeroh           ( 22020117120030)
3.      Luthfi Hidayah           ( 22020117120032 )
4.      Eli Ermawati               ( 22020117120034 )
5.      Anisya Sekar Sai         ( 22020117120037 )
6.      Titi Setiyowati                       ( 22020117120039 )
7.      Istanti                          ( 22020117120041 )

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017



KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah–Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah yang berjudul  “Penerapan Pancasila sebagai Sistem Filsafat dalam Keperawatan” untuk memenuhi  tugas mata kuliah Pancasila. Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah pancasila kami juga menjadikan bahan ajar tentang bagaimana penerapan pancasila sebagai sistem filsafat dalam keperawatan.
Dalam menyusun makalah ini tentunya tidak lepas dari bimbingan, arahan, koreksi, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Unuk itu kami mengucapkan terimakasih kepada :
1.      Dra. Ana Irhandayaningsih, M. Si
2.      Ns. Dody Setyawan, S. Kep., M. Kep
3.      Mahasiswa Departemen Ilmu Keperawatan
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca serta pihak-pihak yang membutuhkan. Diharapkan makalah ini dapat memberi informasi  tentang penerapan Pancasila sebagai sistem filsafat dalam keperawatan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun supaya, supaya dalam menyusun makalah kedepannya dapat lebih baik lagi.

Semarang, 09 September 2017
                                               

Penulis

  
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang................................................................................................................. 1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................................................ 2
1.3  Tujuan.............................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1.            Pengertian Filsafat..................................................................................................... 3
2.1.1 Pengertian Filsafat Secara Etimologis................................................................... 3
2.1.2 Pengertian Filsafat Secara Definitif................................................................ ...... 3
2.2 Pengertian Pancasila Sebagai Suatu Sistem.............................................................. ...... 5
2.3 Kesatuan Sila-Sila Pancasila..................................................................................... ...... 6
2.3.1 Susunan Kesatuan Sila-Sila Pancasila yang Bersifat Organis......................... ...... 6
2.3.2 Susunan Kesatuan Pancasila yang Bersifat Hierarkis dan Berbentuk
Piramidial....................................................................................................... ...... 7
2.3.3 Hubungan  Sila-sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling
Mengkualifikasi.............................................................................................. ...... 8
2.4  Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat..................................... ...... 9
2.4.1 Dasar Ontologis Sila-Sila Pancasila................................................................ ...... 10
2.4.2 Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancasila......................................................... ...... 11
2.4.3 Dasar Aksiologis Sila-Sila Pancasila............................................................... ...... 13
2.5 Filsafat Ilmu Keperawatan........................................................................................ ...... 14
2.5.1 Ontologi Keilmuan Keperawatan................................................................... ...... 15
2.5.2  Epistemologi Keilmuan Keperawatan........................................................... ...... 16
2.5.3 Aksiologi Keilmuan Keperawatan.................................................................. ...... 19
2.6 Penerapan pancasila sebagai sistem filsafat dalam praktik keperawatan......................... 19



BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan................................................................................................................... ...... 24
3.2 Saran......................................................................................................................... ...... 24

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 25


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pancasila pada hakikatnya merupakan sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, keyakinan dan nilai bangsa Indonesia yang secara normatif perlu diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keputusan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia No. 647/MENKES/SK/IV/2000 tentang ketentuan umum pada Bab I Pasal 1 yaitu, “Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Perawat sebagai tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum. Dalam menghadapi pasien, seorang perawat harus mempunyai etika, karena yang dihadapi perawat adalah seorang manusia.
Perawat pun harus bertindak sopan, murah senyum dan menjaga perasaan pasien. Hal tersebut dilakukan karena peran perawat membantu proses penyembuhan pasien bukan memperburuk keadaan pasien. Oleh karena itu penerapan filsafat pancasila sebagai suatu sistem sangat erat kaitannya dengan peranan perawat khususnya etika nilai-nilai pengembangan profesinya dari efek pendidikan pancasila itu sendiri. Maka peranan perawat sangat menunjukkan sikap kepemimpinan dan tanggung jawab untuk memelihara dan mengelola asuhan keperawatan serta mengembangkan diri dalam meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan keperawatan.
Dengan etika yang baik diharapkan seorang perawat bisa menjalin hubungan yang lebih akrab dengan pasien. Dengan hubungan baik ini, maka akan terjalin sikap saling menghormati dan menghargai di antara keduanya. Etika dapat membantu para perawat mengembangkan kelakuan dalam menjalankan kewajiban, membimbing hidup, menerima pelajaran, sehingga para perawat dapat mengetahui kedudukannya dalam masyarakat dan lingkungan keperawatan.
     Dengan demikian, para perawat dapat mengusahakan kemajuannya secara sadar dan seksama. Dalam perawatan teori dan praktik dengan budi pekerti saling memperoleh, maka dua hal ini tidak dapat dipisahkan. Selain dengan tujuan tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa nama baik rumah sakit ditentukan oleh pendapat atau kesan dari masyarakat umum. Kesehatan masyarakat terpelihara dengan baik, jika tingkatan pekerti perawat dan pegawai-pegawai kesehatan lainnya luhur juga. Sebab akhlak yang teguh dan budi pekerti yang luhur merupakan dasar yang penting untuk segala jabatan, termasuk jabatan perawat.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah :
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan filsafat ?
1.2.2. Apa yang dimaksud pancasila sebagai sistem ?
1.2.3. Apa yang dimaksud pancasila sebagi sistem filsafat ?
1.2.4. Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila ?
1.2.5. Bagaimana penerapan pacasila sebagai sistem filsafat dalam keperawatan ?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.3.1. Untuk  memahami konsep filsafat.
1.3.2. Untuk memahami pancasila sebagai sistem.
1.3.3. Untuk  memahami pancasila sebagai sistem filsafat.
1.3.4. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
1.3.5. Untuk mengetahui penerapan pacasila sebagai sistem filsafat dalam keperawatan.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Filsafat[1]
2.1.1 Pengertian Filsafat Secara Etimologis
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yakni philos, philia, philien yang artinya senang, teman dan cinta dan sophos, sophia dan sophien yang artinya kebenaran (truth), keadilan (justice), dan bijaksana (wise) atau kebijaksanaan (wisdom). Pengertian filsafat secara etimologis dapat disimpulkan adalah Cinta kebenaran atau cinta kebijaksanaan/ kearifan. Selain itu kata filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah, dari bahasa Inggris yaitu philosophy, bahasa Indonesia filsafat (kata sifat filsafati) atau filosofi (kata sifat filosofis), falsafah yang semuanya mempunyai arti yang sama.
2.1.2 Pengertian Filsafat Secara Definitif
Pengertian filsafat dari Ahli (Filsuf):
1.      Plato  (427 SM – 347 SM) : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
2.      Aristoteles (384 SM – 322 SM) : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di  dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, politik dan estetika.
3.      Immanuel Kant: Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan, yang tercakup  di dalam empat persoalan.
§  Apakah yang dapat kita ketahui? (jawabnya: metafisika)
§  Apakah yang seharusnya kita ketahui? (jawabnya: etika)
§  Sampai dimanakah pengharapan kita? (jawabnya: agama)
§  Apakah yang dinamakan manusia? (jawabnya: antropologi)
4.         Prof. Drs. Notonegoro, SH: Filsafat adalah pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang mencari dan mempelajari yang ada (ontologi) dan hakekat yang ada (metafisika) dengan perenungan (kontemplasi) yang mendalam (radikal) sampai menemukan substansinya.
5.         Drs. Hasbullah Bakry, S.H: Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu yang mendalam mengenai Ketuhanan (theologi), alam semesta (kosmologi) dan manusia (antropologi), sehingga menghasilkan pengetahuan bagaimana hakekatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapainya. Filsafat adalah ilmu yang mencari dan mempelajari tentang hakekat (metafisika). Oleh karena itu filsafat juga disebut Ilmu tentang hakekat atau ilmu hakekat (metafisika).
Ditinjau dari perspektif permasalahannya filsafat dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
Pertama: filsafat sebagai hasil perenungan/kontemplasi (produk).
§  Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep pemikiran-pemikiran para filsuf.     Pada zaman dahulu, yang lazimnya merupakan suatu aliran/paham, misal: idealism rasionalisme, materialisme, pragmatisme.
§  Filsafat sebagai suatu jenis problema  yang dihadapi oleh manusia  sebagai hasil aktivitas berfilsafat. Jadi manusia mencari suatu kebenaran yang timbul dari persoalan pada akal manusia.
Kedua: Filsafat sebagai suatu proses, yang berbentuk sebagai aktivitas berfilsafat, sekaligus  proses  pemecahan  masalah  (problem solving) dengan  menggunakan berbagai metode tertentu  sesuai  dengan  objeknya.
Adapun cabang-cabang filsafat adalah sebagai berikut:
1.      Metafisika: memepelajari hal-hal yang ada di balik alam fisik/ alam indrawi (riil), yang meliputi bidang-bidang : ontologi, kosmologi, antropologi, dan theology.
2.      Epistimologi: yang mepelajari tentang hakekat pengetahuan.
3.      Logika: mempejari tentang kaidah-kaidah berpikir, yakni tentang axioma, dalil dan rumusan berpikir (thinking) dan bernalar (reasoning)
4.      Etika: mempejari hal-hal yang berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia.
5.      Estetika: mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan yang indah (estetik) dan yang mempunyai nilai seni (artistik).
6.      Methodologi: mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan suatu metode, diantaranya, metode deduksi, induksi, analisa, dan sintesa .
Berdasarkan cabang-cabang filsafat inilah, maka Pancasila dapat dikatakan sebagai Sistem Filsafat, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai Ketuhanan (theologi), nilai manusia (antropologi), nilai kesatuan (metafisika, yang berhubungan dengan pengertian hakekat satu), kerakyatan (hakekat demokrasi) dan keadilan (hakekat keadilan).
2.2  Pengertian Pancasila Sebagai Suatu Sistem
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh, sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  1. Suatu kesatuan bagian-bagian
  2. Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
  3. Saling berhubungan, saling ketergantungan
  4. Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem)
  5. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich, 1974:22).

Pancasila terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Dasar filsafat negara indonesia terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakam suatu asas peradabab. Namun demikian sila-sila Pancasila itu bersama-sama merupakan suatu kesatuan dan keutuhan, setiap sila merupakan suatu unsur (baguan yang mutlak) dari kesatuan Pancasila. Maka dasar filsafat negara Pancasila adalah merupakan suatu kesatuan  yang bersifat majemuk tunggal (majemuk artinya jamak) (tunggal artinya satu). Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri terpisah dari sila yang lainnya.
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bhkan saling mengkualifikasi. Sila yang satu senantiasa dikualifikasi oleh sila-sila lainnya. Secara demikian ini maka Pancasila pada hakikatnya merupakan sistem, dalam pengertian bahwa bagian-bagian, sila-silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh. Pancasila sebagai suatu sitem juga terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilainya telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan suatu sistem dalam pengertian kefilsafatan sebagaimana sistem filsafat lainnya antara lain materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, sosialisme dan sebagainya.

Kenyataanya Pancasila yang demikian itu disebut kenyataan objektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain, atau terlepas dari pengetahuan orang. Kenyataan objektif yang ada dan terlekat pada Pancasila, sehingga Pancasila sebagai suatu sistem filsafat bersifat khas dan berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya liberalisme, materialisme, komunisme dan aliran filsafat yang lainnya. Hal ini secara ilmiah disebut ciri khas secara objektif (Notonagoro, 1975 : 14). Misalnya kita mengamati jenis-jenis logam tertentu, emas, perak, tembaga dan lainnya. Kesemua jenis logam tersebut memiliki ciri khas tersendiri, antar lain meliputi berat jenis, warna, sifat molekulnya dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan suatu sifat objektif yang dimiliki oleh logam-logam tertentu sehingga disebut emas, perak, maupun tembaga. Jadi ciri khas yang dimili oleh sesuatu itu akan menunjukkan jati diri, atau sifat yang khas dan khusus yang tidak dimiliki oleh filsafat akan memberikan ciri-ciri yang khas, yang khusus yang tidak terdapat pada sistem filsafat lainnya.
Pancasila  yang  terdiri  atas  bagian-bagian  yaitu  sila-sila  Pancasila  setiap  sila pada  hakekatnya  merupakan  suatu  azas  sendiri,  fungsi  sendiri-sendiri  namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematis.

2.3  Kesatuan Sila-Sila Pancasila
2.3.1 Susunan Kesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat organis.
Isi  sila-sila  Pancasila  pada  hakikatnya  merupakan  suatu  kesatuan Dasar  Filsafat  negara  berdasarkan  lima  sila  yang  masing-masing merupakan  suatu  azas  kehidupan.  Kesatuan  sila-sila  Pancasila  yang bersifat organis tersebut  pada hakikatnya secara filosofis bersumber pada hakikat dasar antologis manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia “monopluralis” yang memiliki unsur-unsur, susunan kodrat jasmani dan rohani, “sifat kodrat” individu-makhluk sosial,  dan  “kedudukan  kodrat”  sebagai  pribadi  berdiri  sendiri-makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Unsur-unsur hakikat manusia tersebut merupakan suatu kesatuan yang bersifat organis dan harmonis. Setiap unsur memiliki fungsi masing-masing namun saling berhubungan. Oleh karena sila-sila Pancasila merupakan penjelmaan hakikat manusia “monopluralis” yang merupakan kesatuan organis maka sila-sila Pancasila juga memiliki kesatuan yang bersifat organis pula.



2.3.2        Susunan Kesatuan Pancasila yang Bersifat Hierarkis dan Berbentuk Piramidial
Susunan Pancasila adalah hierarkis dan mempunyai bentuk piramidial. Pengertian matematika piramidial digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarki sila-sila dari Pancasila dalam urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas). Kalau dilihat dari intinya, urutan-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi-sifatnya, merupakan pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya. Jika urut-urutan lima sila dianggap mempunyai maksud demikian, maka diantara lima sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada yang lain sehingga Pancasila merupakan suatu kesatuan keseluruhan yang bulat. Andai kata-kata urut-urutan itu dipandang sebagai tidak mutlak. Di antara satu sila dengan sila lainnya tidak ada sangkut-pautnya, maka Pancasila itu menjadi terpecah-pecah, oleh karena itu tidak dapat dipergunakan sebagai suatu asas kerokhanian bagi Negara. Jikalau tiap-tiap sila dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud, sehingga sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada Pancasila.
Dalam susunan hierarkhis dan piramidial ini, maka Ketuhanan yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila didalamnya mengandung sila-sila lainnya. Dengan demikian dimungkinkan penyesuaian dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktu, artinya sesuai dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktunya, dalam hubungannya hierarkhis piramidial semestinya.
Secara ontologis kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidial adalah sebagai berikut: bahwa hakikat adanya Tuhan ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa Prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (sila 1). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (Sila 2). Maka negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (Sila 3). Sehingga terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Maka rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara di samping wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah sebagai totalitas individu-individu dalam negara yang bersatu ( Sila 4). Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam hidup bersama atau dengan lain perkataan keadilan sosial (Sila 5) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara (lihat Notonagoro, 1984 dan 1975: 52,57).
Rumusan Pancasila yang Bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidial:
a.       Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.      Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab adlah diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah menjiwai sila-sila persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c.       Sila ketiga : Persatuan Indonesia adalah diliputi dan dijiwai  oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
d.      Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan adalah diliputi dan dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia adalah meliputi dan menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
e.       Sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah diliputi dan dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.

2.3.3        Hubungan  Sila-sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi.
Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam rangka hubungan hierarkis piramidial tadi. Tiap-tiap sila seperti telah seperti telah disebutkan di atas mengandung empat sila lainnya, dikualifikasikan oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan dari hubungan kesatuan keseluruhan dari sila-sila Pancasila dipersatukan dengan rumus hierarkhis tersebut di atas.

a.       Sila pertama : Ketuhanan yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.      Sila kedua : kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, yang berpesatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpi oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c.       Sila ketiga : Persatuan Indonesia adalah persatuan yang berkeTuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikjaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
d.      Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikjaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, adalah kerakyatan yang berKetuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
e.       Sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang berkeTuhanan yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. (Notonagoro, 19975 :43,44).

2.4 Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat
Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidial, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urutan-urutan luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila (Notonagoro, 1984 : 61 dan 1975: 52, 57). Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan lain paham filsafat dunia.
2.4.1        Dasar Ontologis Sila-Sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang menyangkut sila-silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila Pancasila atau secara filosofis merupakan dasar ontologis sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri dari lima atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asa yang berdiri sendiri-sendiri, memiliki suatu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis.
Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975 : 23). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri sehingga tetaplah jikalau dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya (Notonagoro  1975 : 53).
Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah sebagai sebab adapun negara sebagai akibat. Sebagai suatu sistem filsafat landasan sila-sila Pancasila itu dalam hal isinya menunjukkan suatu hakikat makna yang bertingkat ( Notonagoro, tanpa tahun : 7), serta ditinjau keluasannya memiliki bentuk piramidal.
2.4.2        Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancasila.
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam pengertian seperti yang demikian ini telah menjadi suatu sistem cita-cita/ keyakinan-keyakinan (belief system) yang telah menyangkut praksis, karena dijadikan landasan atau cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berati filsafat telah menjelma menjadi ideologi (Abdul Gani, 1998). Sebagai suatu ideologi maka Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu :
1.      Logos yaitu rasionalitas atau penalarannya,
2.      Patos yaitu penghayatannya, dan
3.      Etos yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996: 3).
Sebagai suatu sistem filsafat serta ideologi maka Pancasila harus memiliki unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan. Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi besumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991: 50). Oleh karena itu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnys tentang hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologis, yaitu bangunan epistemologis yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996: 32).
Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu : pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia (Titus, 1984:20). Persoalan epistemologi dalam hubungannya dalam Pancasila dapat dirinci sebagai berikut :
Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan pancasila, sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Dengan lain perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai adat istiadat serta kebudayaan dan nilai religius, maka diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila. Pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.
Berikutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan berbentuk piramida, di mana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai ke-empat sila lainnya serta sila ke-dua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila-sila ke-tiga, ke-empat dan  ke-lima, sila ke-tiga didasari dan dijiwai sila pertama dan ke-dua serta mendasari dan menjiwai sila-sila ke-empat dan ke-lima, sila ke-empat didasari dan dijiwa sila pertama, ke-dua dan ke-tiga serta mendasari dan menjiwai sila ke-lima, adapun sila ke-lima didasari dan dijiwai sila-sila pertama, ke-dua, ke-tiga dan ke-empat.
Pembahasan berikutnya adalah pandangan Pancasila tentang pengetahuan manusia. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa masalah epistemologi Pancasila diletakkan dalam kerangka bangunan filsafat manusia. Maka konsepsi dasar ontologis sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar pijak epistemologi Pancasila. Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rohani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur-unsur: fisis anorganis, vegetative, animal. Adapun unsur jiwa (rohani) manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa manusia yaitu akal, yaitu suatu potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan manusia. Rasa yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam tingkatan kemampuan estetis (keindahan). Adapun kehendak adalah unsur potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan bidang moral atau etika. Menurut Notonagoro dalam skema potensi rokhaniah manusia terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan akal manusia merupakan sumber daya cipta manusia dan dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut : memories, resektif, kritis dan kreatif.
Manusia pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat netral hal ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi. Kebenaran dalam pengetahuan manusia adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi yaitu kehendak mutlak. Selain itu dalam sila ke-tiga yaitu persatuan Indonesia, sila ke-empat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran consensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai suatu paham epistemologi maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religious dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
2.4.3        Dasar Aksiologis Sila-Sila Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan suku pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkhinya. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakekat nilai yang tertinggi adalah nilai material, kalangan  hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada dua macam sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia, hal ini bersifat subjektif namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri memang bernilai, hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak pandangan tentang nilai terutama dalam menggolong-golongkan nilai dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam tergantung pada sudut pandangnya masing-masing.
Mac Scheler misalnya mengemukakan bahwa nilai pada hakikatnya berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya. Nilai-nilai itu dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bilamana dibandingkan satu dengan lainya. Sejalan dengan pandangan tersebut, Noto Nagoro merinci nilai disamping bertingkat juga berdasarkan jenisnya ada yang bersifat material dan non material. Dalam hubungan ini pancasila memiliki orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada sekelompok orang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yang berorientasi pada nilai non material. Bahkan sesuatu yang non material itu mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relative lebih mudah diukur menggunakan indera maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas dan sebagainya. Dalam menilai hal-hal yang bersifat rokhaniah yang menjadi alat ukur adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indera manusia yaitu cipta, karsa serta keyakinan manusia.
Menurut Noto Nagoro bahwa nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui nilai matrial dan nilai vital dengan demikian nilai Pancasila yang tergolong kerokhanian ini juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap yang harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematis-hierarkis, dimana sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan sosial sebagai tujuannya (Darmodihardjo, 1978).

2.5 Filsafat Ilmu Keperawatan
Pohon  ilmu  dari  keperawatan  adalah  ilmu  keperawatan  itu  sendiri. Pendidikan  keperawatan  sebagai  pendidikan  profesi  harus  dikembangkan  sesuai dengan  kaidah-kaidah  ilmu  dan  profesi  keperawatan,  yang  harus  memiliki landasan akademik dan landasan professional yang kokoh dan mantap.
Pengembangan  pendidikan  keperawatan  bertolak  dari  pengertian  dasar tentang  ilmu  keperawatan  seperti  yang  dirumuskan  oleh  Konsorsium  Ilmu kesehatan  (1991) yaitu “Ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu dasar seperti ilmu alam, ilmu social, ilmu perilaku, ilmu biomedik, ilmu kesehatan masyarakat, ilmu dasar  keperawatan,  ilmu  keperawatan  komunitas  dan  ilmu  keperawatan klinik,  yang  aplikasinya  menggunakan  pendekatan  dan  metode  penyelesaian masalah secara ilmiah, ditujukan untuk mempertahankan, menopang, memelihara dan meningkatkan integritas seluruh kebutuhan dasar manusia.”
Wawasan  ilmu  keperawatan  mencakup  ilmu-ilmu  yang  mempelajari bentuk  dan  sebab  tidak  terpenuhinya  kebutuhan  dasar  manusia,  melalui pengkajian  mendasar  tentang  hal-hal  yang  melatar  belakangi,  serta  mempelajari berbagai  bentuk  upaya  untuk  mencapai  kebutuhan  dasar  tersebut  melalui pemanfaatan  semua  sumber  yang  ada  dan  potensial. Bidang  garapan  dan  fenomena  yang  menjadi  objek  studi  keperawatan  adalah penyimpangan dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia  (bio-psiko-sosio-spiritual), mulai  dari  tingkat  individu  yang  utuh  (mencakup  seluruh  siklus kehidupan),  sampai  pada  tingkat  masyarakat,  yang  juga  tercermin  pada  tidak terpenuhinya  kebutuhan  dasar  pada  tingkat  system  organ  fungsional  sampai  sub seluler atau molekuler.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa hakikat dari ilmu keperawatan adalah  mempelajari  tentang  respon  manusia  terhadap  sehat  dan  sakit  yang difokuskan pada kepedulian perawat terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pasien  atau  disebut  dengan  care.  Hal  ini  berbeda  dengan  hakikat  kedokteran adalah pengobatan atau disebut cure.
2.5.1 Ontologi Keilmuan Keperawatan           
Dua  aspek  penting  dari  ontologi  keilmuan  dalam  keperawatan  yaitu (1)  prinsip  penafsiran  tentang  realitas  dan  (2)  batas-batas  telaahan. Prinsip  penafsiran  tentang  realitas  keilmuan  keperawatan  antara  lain mencakup  beberapa  pernyataan  seperti  realitas  adalah  gejala  fisik  yang berwujud sebagai fakta data.  Realitas yang kita ketahui hanya merupakan perkiraan  dari  kenyataan  yang  sebenarnya.  Realitas  itu  diungkapkan sebagaimana adanya  (das Sein)  tanpa terikat oleh nilai-nilai tertentu di luar  kenyataan  tersebut.  Dalam  menafsirkan  realitas,  keilmuan keperawatan mempunya beberapa anggapan dasar  (asumsi, premis)  yakni uniformitas,  relative  tetap,  dan  memiliki  pola  kejadian  yang  baku.
Uniformitas  ialah  bahwa  setiap  wujud  kehidupan  manusia  mempunyai keserupaan  dengan  wujud  lainnya  dilihat  dari  kriteria  tertentu  seperti kuantitas, kualitas, atau modus. Relative tetap artinya bahwa dalam jangka waktu  tertentu  setiap  wujud  memiliki  bentuk  yang  tetap  misalnya ketegangan  (tension),  kecemasan, depresi, kesedihan, penolakan  (denial), dan coping, sebelum berubah bentuk menjadi wujud lain misalnya : stress, gembira,  penerimaan.  Setiap  kejadian  mempunyai  pola  baku  yang  tetap dan  tidak  bersifat  kebetulan  misalnya  kandungan  air  dan  elektrolit berhubungan  dengan  energy  tubuh,  oksigen  berkaitan  dengan  keadaan sesak nafas dan kematian jaringan.
Batas-batas telaahan kegiatan keilmuan secara umum adalah wilayah empiric,  dalam  arti  daerah  yang  dapat  ditangkap  oleh  panca indera manusia.  Dunia  keilmuan  dibagi  dua  golongan  yaitu  (1)  pengetahuan ilmiah  dan  (2)  sarana  pengetahuan  ilmiah.  Sarana  pengetahuan  ilmiah adalah  alat  yang  membantu  kegiatan  dalam  memperoleh  dan  menyusun pengetahuan ilmiah, misalnya : bahasa, logika, matematika, statistika, dan metode  penelitian.  Ontology  ini  berbeda  dengan  sarana  pengetahuan ilmiah,  demikian  pula  dengan  epistemolog  dan  aksiologinya.  Kegiatan penelitian  yang  menyangkut  sarana  pengetahuan  ilmiah  adalah  bersifat ilmiah, sebab merupakan bagian integral dari dunia keilmuan.
Setiap disiplin keilmuan termasuk pengetahuan ilmiah memiliki objek formal dan  objek  material  mengenai  wujud  yang  menjadi  fokus penelaahannya,  yang  seharusnya  berbeda  dari  obyek  formal dan  obyek material  disiplin  keilmuan  lainnya.  Obyek  formal  adalah  cara  pandang terhadap sesuatu, misalnya bahwa perawat memandang masalah kliennya berfokus  pada  tidak  atau  kurang  adekuatnya  pemenuhan  kebutuhan-kebutuhan  yang  terkait  dengan  kesehatan  potensial  maupun  kesehatan aktual.  Obyek  material  adalah  substansi  dari  obyek  formal,  misalnya apabila obyek formalnya klien dengan masalah gangguan pernafasan, maka obyek materianya adalah saluran pernafasan, oksigen, karbondioksida, dan sebagainya.
Pertanyaan yang sering muncul ialah perbedaan obyek formal dan  obyek  materia  antara  pengetahuan  ilmiah  keperawatan,  kedokteran, dan  kesehatan  masyarakat.  Walaupun  diakui  batas-batasnya,  namun dalam  praktik seringkali  sulit  dibedakan  yang  disebabkan  komponen aksiologi yang tumpang tindih dan bertautan erat antara tujuan pengasuhan (caretive)  dengan  tujuan  pengobatan  (curative)  dan  pencegahan (preventive).  Inilah  tolok  ukur  pertama  untuk  menilai  keberadaan  dan kemandirian  disiplin  pengetahuan  keperawatan  ilmiah  dari  pengetahuan ilmiah lainnya (misalnya ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan masyarakat). Dengan perkataan lain, objek formal dan objek material yang jelas dan tegas dari pengetahuan keperawatan akan merupakan ciri-ciri  yang spesifik dari disiplin keilmuan keperawatan.
2.5.2 Epistemologi Keilmuan Keperawatan
Epistemologi  keilmuan  keperawatan  secara  lebih  rinci  dapat  dilihat dari aspek-aspek sifat, proses, dan fungsi pengetahuan keperawatan ilmiah yang  telah  diperoleh  dan  tersusun  secara  rasional,  logis,  dan  sistematis. Ketiga aspek di atas bersifat saling berhubungan, kait mengkait dengan arti dimulai  dari  sifat,  namun  sebaliknya  bahwa  proses  (pengetahuan keilmuan) ditentukan oleh sifat (pengetahuan keilmuan) dan bahwa fungsi (pengetahuan  keilmuan)  turut  menentukan  bagaimana  proses  perolehan dan penyusunan pengetahuan keilmuan itu dilakukan. Masyarakat ilmiah keperawatan seyogyanya lebih terorganisis dengan mengharapkan  untuk  memperoleh  dan  menyusun  pengetahuan  keilmuan yang memiliki sifat-sifat bahwa pengetahuan keilmuan yang (biasanya) dihasilkan  secara  individual  itu  adalah  untuk  dan  milik  umum  (public knowledge).
Untuk ini diperlukan komunikasi ilmiah, yang artinya bahwa pengetahuan keilmuan  yang diperolehnya wajib  dikomunikasikan kepada masyarakat  ilmuwan  lewat  publikasi  ilmiah.  Jadi  apabila  ilmuwan  yang menyimpan penemuannya dikantung baju atau di perpustakaan pribadinya, belum  bisa  dikategorikan  sebagai  pengetahuan  keilmuan.  Masyarakat ilmiah keperawatan juga tidak boleh terlalu bersifat skeptic dan eksklusif, yang  hanya  melihat  kebenaran  ilmiah  dari  sudut  pandang  pribadi  atau profesinya saja, sebab pada dasarnya pengetahuan keilmuan memiliki akar dan  metode  ilmiah  yang  sama. 
Hal  inilah  yang  merupakan  salah  satu kelemahan umum yang sering terjadi pada setiap kelompok ilmuwan dan profesi,  namun  perlu  diupayakan  untuk  diredusir  dan  dihilangkan. Pengetahuan  keilmuan  itu  haruslah  bersifat  obyektif,  dalam  arti  bahwa setiap orang  yang mempelajari obyek  yang sama dengan cara  yang sama akan  sampai  kepada  kesimpulan  yang  sama  pula.  Pengetahuan  keilmuan yang  disusun  merupakan abstraksi  yag  mereduksikan  realitas  menjadi konsep, dengan tingkat generalisasi yang tinggi.
Mekanisme  yang  memproses  pengetahuan  keilmuan  tersebut  adalah metode ilmiah yang mengandung tiga bagian, yaitu :
-  proses keabsahan (validitas)
-  proses kebenaran
-  proses penyusunan.
Proses  keabsahan  pengetahuan  keilmuan  menetapkan  persyaratan yang  harus  dipenuhi  oleh  suatu  kegiatan  agar  dianggap  sah  secara keilmuan. Persyaratan ini ialah : logis, analitis, dan sistematis adalah sah menurut  kriteria  ilmiah.  Selanjutnya  suatu  pengetahuan  diperlukan  pula kriteria  kebenaran  ilmiah,  yang  ditentukan  melalui  pengujian  secara empiris, yang sifatnya logis, analitis, dan sistematis. Pengetahuan  keilmuan  bidang  keperawatan  yang  diperoleh  dan disusun sedemikian rupa memiliki fungsi yang jelas bagi dunia keilmuan untuk  mendeskripsikan,  menjelaskan,  memprediksikan,  serta  mengontrol gejala  atau  fenomena  bio-psiko-sosial-kultural-spiritual  manusia  sebagai individu,  keluarga  dan  kelompok  dalam  kaitan  dengan  tujuan  kesehatan dan  kesejahteraan  yang  optimal  bagi  mereka. 
Teori  keperawatan  yang dihasilkan akan bermutu tinggi apabila memiliki keempat kriteria di atas, dan  di  sinilah  tolok  ukur  kedua,  dalam  menilai  konsep-konsep  yang diajukan  oleh  disiplin  keilmuan  “baru”  seperti  pengetahuan  keperawatan ilmiah  yang  mulai  tumbuh  untuk  berkembang.  Memang,  seringkali terdapat beberapa macam teori atau pendekatan yang diajukan, dan hal itu adalah  wajar-wajar  saja,  malah  menggembirakan  sebab  suatu  fokus permasalahan  terkadang  tidak  dapat  diselesaikan  oleh  hanya  satu pendekatan  saja.  Yang  penting  adalah  kita  harus  bisa  membedakan gradasi, efisiensi, dan efektivitas berbagai pendekatan yang diajukan.
Keperawatan  lahir  sejak  naluriah  keperawatan  lahir  bersamaan dengan penciptaan manusia. Orang-orang pada zaman dahulu hidup dalam keadaan  primitive.  Namun  demikian  mereka  sudah  mampu  sedikit pengetahuan  dan  kecakapan  dalam  merawat  atau  mengobati.  Pekerjaan "merawat" dikerjakan  berdasarkan naluri (instink) naluri binatang "mother instinct"  (naluri  keibuan)  yang  merupakan  suatu  naluri  dalam  yang bersendi  pada  pemeliharaan  jenis  (melindungi  anak,  merawat  orang lemah). Perkembangan  keperawatan  dipengaruhi  dengan  semakin  maju peradaban manusia maka semakin berkembang keperawatan.
Diawali oleh seorang  Florence  Nightingale  yang  mengamati  fenomena  bahwa  pasien yang dirawat dengan keadaan lingkungan yang bersih ternyata lebih cepat sembuh  dibanding  pasien  yang  dirawat  dalam  kondisi  lingkungan  yang kotor.  Hal  ini  membuahkan  kesimpulan  bahwa  perawatan  lingkungan berperan  dalam  keberhasilan  perawatan  pasien  yang  kemudian  menjadi paradigma keperawatan berdasarkan lingkungan. Semenjak itu banyak pemikiran baru  yang didasari berbagai tehnik untuk  mendapatan  kebenaran  baik  dengan  cara  Revelasi  (pengalaman pribadi),  otoritas  dari  seorang  yang  ahli,  intusisi  (diluar  kesadaran), common  sense  (pengalaman  tidak  sengaja),  dan  penggunaan  metode ilmiah  dengan  penelitian-peneltian  dalam  bidang  keperawatan.  Sehingga muncullah paradigma lain diantaranya:
1.  Peplau (1952) : Teori interpersonal sebagai dasar perawatan
2.  Orlando (1961) : Teori komunikasi sebagai dasar perawatan
3.  Johnson (1961) : Stabilitas sebagai tujuan perawatan
4.  Roy (1970) : Teori adaptasi sebagai dasar perawatan
5.  Rogers (1970) : konsep manusia yang unik
6.  King (1971) : Proses transaksi perawat-klien
7.  Orem (1971) : Kemandirian pasien untuk merawat dirinya sebagai tujuan perawatan

2.5.3 Aksiologi Keilmuan Keperawatan
Aksiologi  keilmuan  menyangkut  nilai-nilai  yang  berkaitan  dengan pengetahuan  ilmiah  :  baik  internal,  eksternal,  maupun  social.  Baik  nilai-nilai  yang  berkaitan  dengan  wujud  maupun  kegiatan  ilmiah  dalam memperoleh  pengetahuannya.  Lain  halnya  dengan  landasan  ontologism yang  mengungkapkan  dan  menyatakan  realitas  sebagaimana  adanya  (das Sein) yang dalam konteks ini ditafsirkan sebagai bebas nilai, maka landasan aksiologis baik internal, eksternal, maupun social adalah sarat nilai. Secara internal,  misalnya  disebutkan  bahwa  tidak  setiap  wujud  empirik  dapat dijadikan  sebagai  objek  penelitian,  terutama  yang  berkaitan  dengan  fitrah (hak-hak azasi) manusia. Rekayasa genetic dalam bentuk “kloning”, telah menimbulkan  masalah  moral. 
Penelitian  dalam  ilmu  kedokteran  ini dikontrol  dengan  ketat  oleh  nilai-nilai  aksiologis  yang  sifatnya  internal. Penelitian  keperawatan  (nursing  research)  dan  penelitian  dalam keperawatan.  (research  in  nursing),  memang  belum  dikembangkan  secara sungguh-sungguh, yang sama sekali berbeda dengan pendekatan penelitian bidang  kedokteran,  psikologi,  sosiologi,  antropologi,  pendidikan,  dan sebagainya,  walaupun  beberapa  bagian  dari  pengetahuan  ilmiah  tentang ilmu-ilmu tersebut dipinjam dan dimasukkan ke dalam ilmu keperawatan. Nilai  eksternal  menyangkut  nilai-nilai  yang  berkaitan  dengan penggunaan  pengetahuan  ilmiah.  Seperti  juga  ditemukannya  atom  atau nuklir yang bisa membawa berkah atau bencana bagi hidup dan kehidupan manusia.  Hal  ini  sangat  tergantung  dari  manusia  yang  menggunakannya. Oleh karena itulah maka kode etik merupakan suatu persyaratan mutlak bagi eksistensi praktik profesi.

2.6 Penerapan Pancasila sebagai Sistem Filsafat dalam PraktIk Keperawatan
Dalam setiap aspek bidang yang ditekuni setiap warga masyarakat tidak dapat disangkal lagi bahwa, berbagai bentuk dinamika hidup berbangsa dan bermasyarakat tidak terlepas dari eksistensi Pancasila. Secara sadar maupun tidak sadar, manusia Indonesia dituntut menerapkan prinsip-prinsip hakiki yang lahir dan berkembang dalam masyarakat yang kemudian dituangkan dalam Pancasila.
Sebagai suatu dasar filsafat Negara maka sila-sila pancasila merupakan suatu system nilai, yaitu sila-sila pancasila itu pada hakekatnya merupakan suatu kesatuan. Hal ini berdasarkan pada pengertian bahwa makna sila-sila pancasila senantiasa dalam hubungannya sebagai sistem filsafat[2].
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Didalamnya terkandung nilai bahwa Negara yang didirikan adalah pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara bahkan  moral Negara, moral penyelenggaraan Negara, politik negara, hukum dan peraturan perundang-undangan Negara, kebebasan dan hak asasi warga Negara harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan yang Maha Esa[3].
Dalam praktek keperawatan, sila pertama ini memberikan suatu alasan kepada para pemberi pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan perlakuan terhadap pasien sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang patut diperlakukan sesuai kodratnya sebagai ciptaan. Asas inilah yang digenggam dan merupakan suatu alasan bertindak yang manusiawi oleh perawat terhadap pasien.
·         Bahwa kita meyakini akan adanya Tuhan yang selalu mengawasi setelah tindakan-tindakan kita, sehingga perawat harus mampu menjaga perilaku dan etika dengan baik serta merawat pasien sebagaimana mestinya.
·         Perawat juga harus saling menghormati pemeluk agama lain terutama pada pasien. Perawat wajib membantu pasien yang ingin menghormati dan melaksanakan ibadahnya saat pasien dalam keadaan keterbatasan.
·         Pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien bukan saja dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia tetapi juga terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
·         Perawat menganggap profesi pelayanan sebagai bagian dari ibadah
·         Perawat mendukung sejawat, kolega dan klien mengembangkan kehidupan yang religius dalam kegiatannya, contohnya mengingatkan pasien untuk berdoa bagi kesembuhan diri, sesuai dengan agama dan kepercayaan pasien tersebut.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa Negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Terkandung makna bahwa, masyarakat Indonesia sebagai manusia yang melaksanakan keadilan dan sebagai manusia yang menghargai orang lain.[4]
Dalam keperawatan, sila ini sangat berkaitan erat dengan prinsip dalam keperawatan yakni mengenai respek pada autonom, dimana setiap individu harus memiliki kebebasan untuk memilih rencana kehidupan dan cara bermoral mereka sendiri. Bagian dari kodrat manusia yang hidup bersama meliputi respek terhadap keunikan dari setiap orang. Karena tidak terdapat dua orang atau situasi yang benar-benar sama, prinsip autonomi mengarahkan perhatian moral perawat pada penentuan secara berhati-hati tentang nilai klien[5].
·         Seorang perawat harus mampu mempunyai rasa kemnausiaan dan moralitas yang tinggi terhadap sesama. Karena dengan begitu, antara perawat dan pasien akan terjalin hubungan yang baik. Perawat akan merasakan kepuasan batin bila ia mampu membantu penyembuhan pasien dan pasien sendiri merasa puas atas pelayanan keperawatan yang diberikan, dengan kata lain terjadi interaksi antara perawat dan pasien.
·         Pekerjaan perawat merupakan panggilan kemanusiaan dengan mendahulukan kepentingan klien.
·         Pekerjaaan perawat adalah panggilan kemanusiaan, maka imbalan jasa yang menjadi haknya tidak bisa disamakan dengan jasa dalam usaha lain, karena sifat pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia.
·         Perawat dalam memberikan pelayanan harus mendahulukan kepentingan masyarakat.
·         Perawat memperlakukan klien sesuai dengan prosedur tindakan, menghindari kelalaian, memastikan klien merasa nyaman atas pelayanan.
·         Perawat menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga
·         Perawat memegang peran advokasi klien

3. Persatuan Indonesia.
Dalam sila terkandung nilai bahwa Negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan sosial[6]. Dalam profesi keperawatan, seorang tenaga medis tidak boleh bekerja sendiri melainkan membutuhkan orang lain (kodrat sebagai makhluk sosial) dalam menjalankan tugasnya.
·         Perawat dapat menopang hubungan kerja sama dengan teman kerja, baik tenaga keperawatan maupun tenaga profesi lain di keperawatanagar tidak terjadi konflik yang menimbulkan perpecahan dalam menyelesaikan masalah yang dimiliki oleh pasien.
·         Perawat dalam kerjasama dengan teman sejawat harus memelihara saling pengertian dengan sebaik-baiknya.
·         Perawat bertindak melindungi klien dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis, dan legal.
·         Perawat mendahulukan kepentingan umum dalam memberikan pelayanan.
·         Bangga dengan jatidiri sebagai perawat Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Nilai filosofi yang terkandung didalamnya adalah bahwa hakikat Negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah Negara[7].
Dalam praktek keperawatan, setiap perawat sebelum melakukan tindakan harus memberitahkan (perihal musyawarah) kepada pasien apa tindakan yang dilakukan beserta tujuan dari tindakan yang akan dilakukan. Selain itu hasil dari diagnosa harus diberitahukan kepada pasien dan keluarga pasien. Dalam etika keperawatan, hal ini sesuai dengan Informend Consent dan Advance Directive. Informed consent meningkatkan dan menghargai autonomi dengan mengembangkan pengetahuan klien atas pilihannya. Advance directive adalah bentuk komunikasi dimana seseorang dapat memberi petunjuk tentang bagaimana mereka ingin diperlakukan ketika mereka tidak dapat melakukannya sendiri. Sebelum operasi misalnya, dokter harus memberikan informasi tertentu pada klien.[8]
·         Dalam melaksanakan tindakan, perawat perlu membuat keputusan berdasarkan musyawaraah dan kerja samaa dengan dokter atau ahli medis lain. Tidak dibenarkan membuat keputusan sepihak demi keputusan sendiri.
·         Bermusyawarah berlandaskan etika, fakta, dan data yang valid serta komprehensif.
·         Perawat menggunakan ilmu keterampilannya untuk kepentingan pasien dan bila tidak mampu wajib merujuk kepada yang lebih mampu.
·         Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dalam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan Negara sebagai tujuan dalam hidup bersama. Maka didalam sila kelima tersebut terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial)[9].  Dalam kaitannya dengan praktek keperawatan, sila ini berpapasan dengan prinsip-prinsip etika keperawatan,  khususnya mengenai justice (keadilan) dimana prinsip keadilan menuntut perlakuan terhadap orang lain yang adil dan memberikan apa yang menjadi hak orang lain. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. Setiap orang harus mendapat pelayanan kesehatan yang sama dan seimbang[10].
·         Memperlakukan klien secara adil tanpa memandang status dan golongan.
·         Pelayanan yang diberikan berdasarkan nilai luhur, niat yang murni untuk keselamatan dan kesejahteraan umat tanpa membedakan kebangsaan, suku, ras, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, agama yang dianut, serta kedudukan sosial.
·         Mendahulukan terpenuhinya hak-hak klien sebelum menuntut hak-haknya sebagai perawat.
·         Menghargai kontribusi profesi lain dalam penanganan klien.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pancasila sebagai sistem filsafat dalam keperawatan pada dasarnya dijadikan sebagai acuan dasar dalam segala tindakan yang berhubungan dengan keperawatan. Dari uraian yang ada di atas bahwa filsafat pancasila dalam keperawatan adalah nilai-nilai dasar pancasila yang saling berhubungan satu dengan lainnya menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh dan kemudian nilai-nilai dari Pancasila tersebut diterapkan dalam segala tindakan dan perilaku perawat.
Perawat dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang perawat diwajibkan memberikan pelayanan terbaik untuk pasien. Dengan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dari sila pancasila perawat akan memberikan pelayanan dengan tulus kepada pasien tanpa membeda-bedakan dan juga bukan semata-mata karena materi yang didapat.

3.2 Saran
Menyadari Pancasila sebagai filsafat sangatlah penting, walaupun sebagai seorang perawat diharuskan menjunjung tinggi dan mengamalkan sila-sila pancasila dengan penuh tanggung jawab. Dalam dunia keperawatan sebagai seorang perawat dalam melakukan segala tindakan yang berhubungan dengan keperawatan sebaiknya menggunakan nilai-nilai dasar pancasila sebagai salah satu landasan.

DAFTAR PUSTAKA

Kaelan.2016. Pendidikan Kewarganegaraam. Yogyakarta: Paradigma

Kaelan.2016. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma

 

http://dwirestarina.blogspot.co.id Perawat Professional Indonesia  (diakses 20 September 2017)

 



[1] Kaelan H. dan Zubaidi Achmad. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. (Yogjakarta:Paradigma) 2010. hal 7-8.
[2] Ibid, Kaelan dan Zubaidi Achmad. Hal 31.
[3] Ibid, Hal 31.
[4] Ibid, Hal 32.
[5] Potter & Perry, 2005,  Fundamental Keperawatan, Jakarta, ECG. Ed 4. Hal 420.
[6] Ibid, Kaelan dan Zubaidi Achmad. Hal 33.
[7] Ibid. Hal 35
[8] Ibid, Potter & Perry, 2005. Ed 4. Hal 422.
[9] Ibid, Kaelan H. dan Zubaidi, Achmad. Hal 36.
[10] Ibid, Potter & Perry, 2005. Ed 4. Hal 421.

No comments:

Post a Comment

Novel Bahasa Jawa "Tresno Waranggono"

                                                                           Tresno Waranggono “ Theng-theng” swara bel muni, kang tandane w...