MAKALAH
PANCASILA
“Penerapan
Pancasila sebagai Sistem Filsafat dalam Keperawatan”
Dosen
Pegampu :
1. Dra.
Ana Irhandayaningsih, M. Si
2. Ns.
Dody Setyawan, S. Kep., M. Kep
Disusun
Oleh :
1. Aini
Saadah ( 22020117120027 )
2. Siti
Khumaeroh ( 22020117120030)
3. Luthfi
Hidayah ( 22020117120032 )
4. Eli
Ermawati ( 22020117120034 )
5. Anisya
Sekar Sai ( 22020117120037 )
6. Titi
Setiyowati ( 22020117120039 )
7. Istanti
( 22020117120041
)
DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah–Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah
yang berjudul “Penerapan Pancasila sebagai Sistem Filsafat dalam
Keperawatan” untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pancasila. Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah pancasila kami juga
menjadikan bahan ajar tentang bagaimana penerapan pancasila sebagai sistem
filsafat dalam keperawatan.
Dalam menyusun makalah ini tentunya tidak lepas dari
bimbingan, arahan, koreksi, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Unuk itu
kami mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dra.
Ana Irhandayaningsih, M. Si
2. Ns.
Dody Setyawan, S. Kep., M. Kep
3. Mahasiswa
Departemen Ilmu Keperawatan
Penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca serta
pihak-pihak yang membutuhkan. Diharapkan makalah ini dapat memberi informasi tentang penerapan
Pancasila sebagai sistem filsafat dalam keperawatan. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun supaya, supaya dalam
menyusun makalah kedepannya dapat lebih baik lagi.
Semarang,
09 September 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................................................ 2
1.3 Tujuan.............................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Filsafat..................................................................................................... 3
2.1.1 Pengertian Filsafat Secara Etimologis................................................................... 3
2.1.2 Pengertian Filsafat Secara Definitif................................................................ ...... 3
2.2 Pengertian Pancasila
Sebagai Suatu Sistem.............................................................. ...... 5
2.3 Kesatuan Sila-Sila Pancasila..................................................................................... ...... 6
2.3.1 Susunan
Kesatuan Sila-Sila Pancasila yang Bersifat Organis......................... ...... 6
2.3.2
Susunan Kesatuan Pancasila yang Bersifat Hierarkis dan Berbentuk
Piramidial....................................................................................................... ...... 7
2.3.3
Hubungan Sila-sila Pancasila yang Saling
Mengisi dan Saling
Mengkualifikasi.............................................................................................. ...... 8
2.4 Kesatuan
Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat..................................... ...... 9
2.4.1 Dasar
Ontologis Sila-Sila Pancasila................................................................ ...... 10
2.4.2
Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancasila......................................................... ...... 11
2.4.3
Dasar Aksiologis Sila-Sila Pancasila............................................................... ...... 13
2.5 Filsafat Ilmu Keperawatan........................................................................................ ...... 14
2.5.1 Ontologi Keilmuan Keperawatan................................................................... ...... 15
2.5.2 Epistemologi
Keilmuan Keperawatan........................................................... ...... 16
2.5.3 Aksiologi Keilmuan
Keperawatan.................................................................. ...... 19
2.6 Penerapan pancasila sebagai sistem filsafat dalam praktik
keperawatan......................... 19
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan................................................................................................................... ...... 24
3.2 Saran......................................................................................................................... ...... 24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pancasila
pada hakikatnya merupakan sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, keyakinan
dan nilai bangsa Indonesia yang secara normatif perlu diwujudkan dalam
kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Keputusan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia No.
647/MENKES/SK/IV/2000 tentang ketentuan umum pada Bab I Pasal 1 yaitu, “Perawat
adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di
luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Perawat sebagai tenaga
kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum. Dalam
menghadapi pasien, seorang perawat harus mempunyai etika, karena yang dihadapi
perawat adalah seorang manusia.
Perawat
pun harus bertindak sopan, murah senyum dan menjaga perasaan pasien. Hal
tersebut dilakukan karena peran perawat membantu proses penyembuhan pasien
bukan memperburuk keadaan pasien. Oleh karena itu penerapan
filsafat pancasila sebagai suatu sistem sangat erat kaitannya dengan peranan
perawat khususnya etika nilai-nilai pengembangan profesinya dari efek
pendidikan pancasila itu sendiri. Maka peranan perawat sangat menunjukkan sikap
kepemimpinan dan tanggung jawab untuk memelihara dan mengelola asuhan
keperawatan serta mengembangkan diri dalam meningkatkan mutu dan jangkauan
pelayanan keperawatan.
Dengan
etika yang baik diharapkan seorang perawat bisa menjalin hubungan yang lebih
akrab dengan pasien. Dengan hubungan baik ini, maka akan terjalin sikap saling
menghormati dan menghargai di antara keduanya. Etika dapat membantu para
perawat mengembangkan kelakuan dalam menjalankan kewajiban, membimbing hidup,
menerima pelajaran, sehingga para perawat dapat mengetahui kedudukannya dalam
masyarakat dan lingkungan keperawatan.
Dengan demikian, para perawat dapat
mengusahakan kemajuannya secara sadar dan seksama. Dalam perawatan teori dan
praktik dengan budi pekerti saling memperoleh, maka dua hal ini tidak dapat
dipisahkan. Selain dengan tujuan tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa nama
baik rumah sakit ditentukan oleh pendapat atau kesan dari masyarakat umum.
Kesehatan masyarakat terpelihara dengan baik, jika tingkatan pekerti perawat
dan pegawai-pegawai kesehatan lainnya luhur juga. Sebab akhlak yang teguh dan
budi pekerti yang luhur merupakan dasar yang penting untuk segala jabatan,
termasuk jabatan perawat.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah :
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan filsafat ?
1.2.2. Apa yang dimaksud pancasila sebagai sistem ?
1.2.3. Apa yang dimaksud pancasila sebagi sistem filsafat ?
1.2.4. Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila ?
1.2.5. Bagaimana penerapan pacasila sebagai sistem filsafat dalam
keperawatan ?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.3.1. Untuk memahami
konsep filsafat.
1.3.2. Untuk memahami pancasila sebagai sistem.
1.3.3. Untuk memahami
pancasila sebagai sistem filsafat.
1.3.4. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
1.3.5. Untuk mengetahui penerapan pacasila sebagai sistem filsafat
dalam keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 Pengertian Filsafat Secara Etimologis
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua
kata, yakni philos, philia, philien yang artinya senang, teman dan cinta dan
sophos, sophia dan sophien yang artinya kebenaran (truth), keadilan (justice),
dan bijaksana (wise) atau kebijaksanaan (wisdom). Pengertian filsafat secara
etimologis dapat disimpulkan adalah Cinta kebenaran atau cinta kebijaksanaan/ kearifan.
Selain itu kata filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah,
dari bahasa Inggris yaitu philosophy, bahasa Indonesia filsafat (kata sifat
filsafati) atau filosofi (kata sifat filosofis), falsafah yang semuanya mempunyai
arti yang sama.
2.1.2 Pengertian Filsafat Secara Definitif
Pengertian
filsafat dari Ahli (Filsuf):
1.
Plato (427 SM – 347 SM) : filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
2.
Aristoteles (384 SM – 322 SM) : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, politik dan estetika.
3.
Immanuel
Kant: Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari
segala pengetahuan, yang tercakup di
dalam empat persoalan.
§ Apakah yang dapat kita ketahui? (jawabnya: metafisika)
§ Apakah yang seharusnya kita ketahui? (jawabnya: etika)
§ Sampai dimanakah pengharapan kita? (jawabnya: agama)
§ Apakah yang dinamakan manusia? (jawabnya: antropologi)
4.
Prof. Drs.
Notonegoro, SH: Filsafat adalah pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang mencari dan
mempelajari yang ada (ontologi) dan hakekat yang ada (metafisika)
dengan perenungan (kontemplasi) yang mendalam (radikal) sampai menemukan
substansinya.
5.
Drs.
Hasbullah Bakry, S.H: Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu yang mendalam
mengenai Ketuhanan (theologi), alam semesta (kosmologi) dan manusia
(antropologi), sehingga menghasilkan pengetahuan bagaimana hakekatnya sejauh
yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya
setelah mencapainya. Filsafat adalah ilmu yang mencari dan mempelajari tentang
hakekat (metafisika). Oleh karena itu filsafat juga disebut Ilmu tentang
hakekat atau ilmu hakekat (metafisika).
Ditinjau dari perspektif permasalahannya
filsafat dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
Pertama: filsafat sebagai hasil perenungan/kontemplasi
(produk).
§ Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep
pemikiran-pemikiran para filsuf. Pada
zaman dahulu, yang lazimnya merupakan suatu aliran/paham, misal: idealism rasionalisme,
materialisme, pragmatisme.
§ Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil aktivitas berfilsafat. Jadi
manusia mencari suatu kebenaran yang timbul dari persoalan pada akal manusia.
Kedua: Filsafat sebagai suatu proses, yang berbentuk
sebagai aktivitas berfilsafat, sekaligus
proses pemecahan masalah
(problem solving) dengan
menggunakan berbagai metode tertentu
sesuai dengan objeknya.
Adapun cabang-cabang filsafat adalah sebagai
berikut:
1.
Metafisika:
memepelajari hal-hal yang ada di balik alam fisik/ alam
indrawi (riil), yang meliputi bidang-bidang : ontologi, kosmologi, antropologi,
dan theology.
2.
Epistimologi:
yang mepelajari tentang hakekat pengetahuan.
3.
Logika: mempejari
tentang kaidah-kaidah berpikir, yakni tentang axioma, dalil dan rumusan
berpikir (thinking) dan bernalar (reasoning)
4.
Etika:
mempejari hal-hal yang berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia.
5.
Estetika:
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan yang indah (estetik) dan yang mempunyai
nilai seni (artistik).
6.
Methodologi:
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan suatu metode, diantaranya, metode
deduksi, induksi, analisa, dan sintesa .
Berdasarkan cabang-cabang filsafat inilah, maka
Pancasila dapat dikatakan sebagai Sistem Filsafat, karena di dalamnya terdapat
nilai-nilai Ketuhanan (theologi), nilai manusia (antropologi), nilai kesatuan
(metafisika, yang berhubungan dengan pengertian hakekat satu), kerakyatan
(hakekat demokrasi) dan keadilan (hakekat keadilan).
2.2 Pengertian
Pancasila Sebagai Suatu Sistem
Pancasila
yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Sistem
adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama
untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang
utuh, sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- Suatu
kesatuan bagian-bagian
- Bagian-bagian
tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
- Saling
berhubungan, saling ketergantungan
- Kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem)
- Terjadi
dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich, 1974:22).
Pancasila terdiri atas bagian-bagian
yaitu sila-sila Pancasila setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas
sendiri, fungsi sendiri-sendiri tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Isi sila-sila Pancasila
pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Dasar filsafat negara indonesia
terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakam suatu asas peradabab. Namun
demikian sila-sila Pancasila itu bersama-sama merupakan suatu kesatuan dan
keutuhan, setiap sila merupakan suatu unsur (baguan yang mutlak) dari kesatuan Pancasila.
Maka dasar filsafat negara Pancasila adalah merupakan suatu kesatuan yang bersifat majemuk tunggal (majemuk
artinya jamak) (tunggal artinya satu). Konsekuensinya setiap sila tidak dapat
berdiri sendiri terpisah dari sila yang lainnya.
Sila-sila Pancasila
yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan
organis. Antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan
bhkan saling mengkualifikasi. Sila yang satu senantiasa dikualifikasi oleh
sila-sila lainnya. Secara demikian ini maka Pancasila pada hakikatnya merupakan
sistem, dalam pengertian bahwa bagian-bagian, sila-silanya saling berhubungan
secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh. Pancasila
sebagai suatu sitem juga terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan dirinya sendiri,
dengan sesama manusia, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilainya telah
dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan suatu
sistem dalam pengertian kefilsafatan sebagaimana sistem filsafat lainnya antara
lain materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, sosialisme dan
sebagainya.
Kenyataanya Pancasila
yang demikian itu disebut kenyataan objektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada
pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain, atau terlepas dari
pengetahuan orang. Kenyataan objektif yang ada dan terlekat pada Pancasila,
sehingga Pancasila sebagai suatu sistem filsafat bersifat khas dan berbeda
dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya liberalisme, materialisme,
komunisme dan aliran filsafat yang lainnya. Hal ini secara ilmiah disebut ciri
khas secara objektif (Notonagoro, 1975 : 14). Misalnya kita mengamati
jenis-jenis logam tertentu, emas, perak, tembaga dan lainnya. Kesemua jenis
logam tersebut memiliki ciri khas tersendiri, antar lain meliputi berat jenis,
warna, sifat molekulnya dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan
suatu sifat objektif yang dimiliki oleh logam-logam tertentu sehingga disebut
emas, perak, maupun tembaga. Jadi ciri khas yang dimili oleh sesuatu itu akan
menunjukkan jati diri, atau sifat yang khas dan khusus yang tidak dimiliki oleh
filsafat akan memberikan ciri-ciri yang khas, yang khusus yang tidak terdapat
pada sistem filsafat lainnya.
Pancasila yang
terdiri atas bagian-bagian
yaitu sila-sila Pancasila
setiap sila pada hakekatnya
merupakan suatu azas
sendiri, fungsi sendiri-sendiri namun secara keseluruhan merupakan suatu
kesatuan yang sistematis.
2.3 Kesatuan Sila-Sila Pancasila
2.3.1 Susunan Kesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat organis.
Isi sila-sila
Pancasila pada hakikatnya
merupakan suatu kesatuan Dasar Filsafat
negara berdasarkan lima
sila yang masing-masing merupakan suatu
azas kehidupan. Kesatuan
sila-sila Pancasila yang bersifat organis tersebut pada hakikatnya secara filosofis bersumber
pada hakikat dasar antologis manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila Pancasila yaitu
hakikat manusia “monopluralis” yang memiliki unsur-unsur, susunan kodrat
jasmani dan rohani, “sifat kodrat” individu-makhluk sosial, dan
“kedudukan kodrat” sebagai
pribadi berdiri sendiri-makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Unsur-unsur
hakikat manusia tersebut merupakan suatu kesatuan yang bersifat organis dan
harmonis. Setiap unsur memiliki fungsi masing-masing namun saling berhubungan.
Oleh karena sila-sila Pancasila merupakan penjelmaan hakikat manusia
“monopluralis” yang merupakan kesatuan organis maka sila-sila Pancasila juga
memiliki kesatuan yang bersifat organis pula.
2.3.2
Susunan Kesatuan
Pancasila yang Bersifat Hierarkis dan Berbentuk Piramidial
Susunan Pancasila adalah hierarkis dan mempunyai bentuk
piramidial. Pengertian matematika piramidial digunakan untuk menggambarkan
hubungan hierarki sila-sila dari Pancasila dalam urut-urutan luas (kwantitas)
dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas). Kalau dilihat dari intinya,
urutan-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan
isi-sifatnya, merupakan pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya. Jika
urut-urutan lima sila dianggap mempunyai maksud demikian, maka diantara lima
sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada yang lain sehingga Pancasila
merupakan suatu kesatuan keseluruhan yang bulat. Andai kata-kata urut-urutan
itu dipandang sebagai tidak mutlak. Di antara satu sila dengan sila lainnya
tidak ada sangkut-pautnya, maka Pancasila itu menjadi terpecah-pecah, oleh
karena itu tidak dapat dipergunakan sebagai suatu asas kerokhanian bagi Negara.
Jikalau tiap-tiap sila dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud, sehingga
sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada Pancasila.
Dalam susunan hierarkhis dan piramidial ini, maka
Ketuhanan yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia,
kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan yang Maha Esa adalah
Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan
persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial demikian
selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila didalamnya mengandung sila-sila lainnya.
Dengan demikian dimungkinkan penyesuaian dengan keperluan dan kepentingan
keadaan, tempat dan waktu, artinya sesuai dengan keperluan dan kepentingan
keadaan, tempat dan waktunya, dalam hubungannya hierarkhis piramidial
semestinya.
Secara ontologis kesatuan sila-sila Pancasila sebagai
suatu sistem bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidial adalah sebagai berikut:
bahwa hakikat adanya Tuhan ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa Prima. Oleh karena itu segala
sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada
sebagai akibat adanya Tuhan (sila 1). Adapun manusia adalah sebagai subjek
pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah
sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (Sila 2). Maka
negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (Sila 3). Sehingga
terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Maka rakyat pada
hakikatnya merupakan unsur negara di samping wilayah dan pemerintah. Rakyat
adalah sebagai totalitas individu-individu dalam negara yang bersatu ( Sila 4).
Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam hidup bersama
atau dengan lain perkataan keadilan sosial (Sila 5) pada hakikatnya sebagai
tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara (lihat Notonagoro, 1984
dan 1975: 52,57).
Rumusan Pancasila yang Bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidial:
a.
Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi
dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.
Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab adlah
diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah menjiwai sila-sila
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c.
Sila ketiga : Persatuan Indonesia adalah diliputi dan
dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab adalah meliputi dan menjiwai sila-sila
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
d.
Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan adalah diliputi dan dijiwai
oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia adalah meliputi dan menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
e.
Sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia adalah diliputi dan dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
2.3.3
Hubungan Sila-sila Pancasila yang Saling Mengisi dan
Saling Mengkualifikasi.
Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan
pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam rangka
hubungan hierarkis piramidial tadi. Tiap-tiap sila seperti telah seperti telah
disebutkan di atas mengandung empat sila lainnya, dikualifikasikan oleh empat
sila lainnya. Untuk kelengkapan dari hubungan kesatuan keseluruhan dari sila-sila
Pancasila dipersatukan dengan rumus hierarkhis tersebut di atas.
a.
Sila pertama : Ketuhanan yang Maha Esa adalah Ketuhanan
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.
Sila kedua : kemanusiaan yang adil dan beradab adalah
kemanusiaan yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, yang berpesatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpi oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c.
Sila ketiga : Persatuan Indonesia adalah persatuan yang
berkeTuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikjaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
d.
Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebikjaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, adalah kerakyatan yang
berKetuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
e.
Sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
adalah keadilan yang berkeTuhanan yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaaan dalam permusyawaratan/
perwakilan. (Notonagoro, 19975 :43,44).
2.4 Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat
Kesatuan sila-sila Pancasila pada
hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja
namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar
aksiologis dari sila-sila Pancasila. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat
hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidial, digunakan untuk menggambarkan
hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urutan-urutan luas
(kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila
itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhis
dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta
hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam
hal dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila
(Notonagoro, 1984 : 61 dan 1975: 52, 57). Secara
filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar
ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan
sistem filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme,
komunisme, idealisme dan lain paham filsafat dunia.
2.4.1
Dasar Ontologis Sila-Sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu kesatuan
sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang menyangkut sila-silanya saja
melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila Pancasila atau secara
filosofis merupakan dasar ontologis sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri dari lima atas lima sila, setiap
sila bukanlah merupakan asa yang berdiri sendiri-sendiri, memiliki suatu
kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila
pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh
karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis.
Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta
yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975 : 23).
Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara bahwa Pancasila
adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan
unsur rakyat adalah manusia itu sendiri sehingga tetaplah jikalau dalam
filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah
manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis
memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa,
jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri
sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat
manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan
inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa mendasari
dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya (Notonagoro 1975 : 53).
Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila
adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan dan
Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan
sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah sebagai
sebab adapun negara sebagai akibat. Sebagai suatu sistem filsafat
landasan sila-sila Pancasila itu dalam hal isinya menunjukkan suatu hakikat
makna yang bertingkat ( Notonagoro, tanpa tahun : 7), serta ditinjau keluasannya memiliki bentuk
piramidal.
2.4.2
Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancasila.
Pancasila sebagai sistem filsafat
pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan
pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta,
manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar
bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan
kehidupan. Pancasila dalam pengertian seperti yang demikian ini telah menjadi
suatu sistem cita-cita/ keyakinan-keyakinan (belief system) yang telah
menyangkut praksis, karena dijadikan landasan atau cara hidup manusia atau
suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berati
filsafat telah menjelma menjadi ideologi (Abdul Gani, 1998). Sebagai suatu
ideologi maka Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas
dari pendukungnya yaitu :
1.
Logos yaitu
rasionalitas atau penalarannya,
2.
Patos yaitu
penghayatannya, dan
3.
Etos yaitu
kesusilaannya (Wibisono, 1996: 3).
Sebagai suatu
sistem filsafat serta ideologi maka Pancasila harus memiliki unsur rasional
terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan. Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan
dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi besumber pada
nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991: 50). Oleh karena itu dasar
epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnys tentang
hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka
dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologis, yaitu bangunan epistemologis
yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996: 32).
Terdapat tiga persoalan yang mendasar
dalam epistemologi yaitu : pertama tentang
sumber pengetahuan manusia, kedua
tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia (Titus, 1984:20).
Persoalan epistemologi dalam hubungannya dalam Pancasila dapat dirinci sebagai berikut :
Pancasila sebagai suatu objek
pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan
susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan pancasila,
sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber pengetahuan Pancasila adalah
nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya
merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja namun
dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Dengan lain
perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila.
Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang
memiliki nilai-nilai adat istiadat serta kebudayaan dan nilai religius, maka
diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila. Pancasila
sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat
korespondensi.
Berikutnya tentang susunan Pancasila
sebagai suatu sistem pengetahuan. Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan
yang bersifat formal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi
arti sila-sila
Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan
berbentuk piramida, di mana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai ke-empat sila lainnya serta sila
ke-dua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila-sila ke-tiga, ke-empat
dan ke-lima, sila ke-tiga didasari dan
dijiwai sila pertama dan ke-dua serta mendasari dan menjiwai sila-sila ke-empat
dan ke-lima, sila ke-empat didasari dan dijiwa sila pertama, ke-dua dan ke-tiga serta
mendasari dan menjiwai sila ke-lima, adapun sila ke-lima didasari dan dijiwai
sila-sila pertama, ke-dua, ke-tiga dan ke-empat.
Pembahasan berikutnya adalah
pandangan Pancasila tentang pengetahuan manusia. Sebagaimana dijelaskan di muka
bahwa masalah epistemologi Pancasila diletakkan dalam kerangka bangunan filsafat manusia. Maka
konsepsi dasar ontologis sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis
merupakan dasar pijak epistemologi
Pancasila. Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah
monopluralis yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu
susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rohani). Tingkatan hakikat raga
manusia adalah unsur-unsur: fisis anorganis, vegetative, animal. Adapun unsur jiwa (rohani)
manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa manusia yaitu akal, yaitu suatu
potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan manusia.
Rasa yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam tingkatan kemampuan
estetis (keindahan). Adapun kehendak
adalah unsur potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan bidang
moral atau etika. Menurut Notonagoro dalam skema potensi rokhaniah manusia
terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan akal manusia merupakan sumber daya
cipta manusia dan dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh pengetahuan
yang benar terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut : memories, resektif, kritis dan kreatif.
Manusia pada hakikatnya kedudukan
kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila
pertama Pancasila epistemologi
Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat netral
hal ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi. Kebenaran dalam pengetahuan
manusia adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi
kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkan
kebenaran yang tertinggi yaitu kehendak mutlak. Selain itu dalam sila ke-tiga
yaitu persatuan Indonesia, sila ke-empat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia maka epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran consensus terutama dalam kaitannya
dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial. Sebagai suatu paham epistemologi maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya
bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus
diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religious
dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam
hidup manusia.
2.4.3
Dasar Aksiologis Sila-Sila Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu
kesatuan dasar aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori
tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan suku
pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan
hierarkhinya. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakekat nilai yang
tertinggi adalah nilai material, kalangan
hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan.
Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada
dua macam sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan
dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia, hal ini bersifat subjektif namun
juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya
sendiri memang bernilai, hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu
bernilai, hanya nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai
tersebut dengan manusia. Banyak pandangan tentang nilai terutama dalam
menggolong-golongkan nilai dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam
tergantung pada sudut pandangnya masing-masing.
Mac Scheler
misalnya mengemukakan bahwa nilai pada hakikatnya berjenjang, jadi tidak sama
tingginya dan tidak sama luhurnya. Nilai-nilai itu dalam kenyataannya ada yang
lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bilamana dibandingkan satu dengan
lainya. Sejalan dengan pandangan tersebut, Noto Nagoro merinci nilai disamping
bertingkat juga berdasarkan jenisnya ada yang bersifat material dan non
material. Dalam hubungan ini pancasila memiliki orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan
hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada sekelompok orang mendasarkan pada
orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yang berorientasi pada
nilai non material. Bahkan sesuatu yang non material itu mengandung nilai yang
bersifat mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relative lebih mudah diukur
menggunakan indera maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar,
luas dan sebagainya. Dalam menilai hal-hal yang bersifat rokhaniah yang menjadi
alat ukur adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indera manusia
yaitu cipta, karsa serta keyakinan manusia.
Menurut Noto Nagoro bahwa
nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai
kerokhanian yang mengakui nilai matrial dan nilai vital dengan demikian nilai Pancasila yang
tergolong kerokhanian ini juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap yang
harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan
atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang
secara keseluruhan bersifat sistematis-hierarkis, dimana sila pertama yaitu
Ketuhanan yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan sosial
sebagai tujuannya (Darmodihardjo, 1978).
2.5 Filsafat
Ilmu
Keperawatan
Pohon ilmu
dari keperawatan adalah
ilmu keperawatan itu
sendiri. Pendidikan
keperawatan sebagai pendidikan
profesi harus dikembangkan
sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu
dan profesi keperawatan,
yang harus memiliki landasan akademik dan landasan
professional yang kokoh dan mantap.
Pengembangan pendidikan
keperawatan bertolak dari
pengertian dasar tentang ilmu
keperawatan seperti yang
dirumuskan oleh Konsorsium
Ilmu kesehatan (1991) yaitu “Ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu dasar seperti ilmu alam, ilmu social, ilmu perilaku, ilmu
biomedik, ilmu kesehatan masyarakat, ilmu dasar keperawatan,
ilmu keperawatan komunitas
dan ilmu keperawatan klinik, yang
aplikasinya menggunakan pendekatan
dan metode penyelesaian masalah secara ilmiah, ditujukan
untuk mempertahankan, menopang, memelihara dan meningkatkan integritas seluruh
kebutuhan dasar manusia.”
Wawasan ilmu
keperawatan mencakup ilmu-ilmu
yang mempelajari bentuk dan
sebab tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia,
melalui pengkajian mendasar tentang
hal-hal yang melatar
belakangi, serta mempelajari berbagai bentuk
upaya untuk mencapai
kebutuhan dasar tersebut
melalui pemanfaatan semua sumber
yang ada dan
potensial. Bidang garapan dan
fenomena yang menjadi
objek studi keperawatan
adalah penyimpangan dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosio-spiritual), mulai dari
tingkat individu yang utuh
(mencakup seluruh siklus kehidupan), sampai
pada tingkat masyarakat,
yang juga tercermin
pada tidak terpenuhinya kebutuhan
dasar pada tingkat
system organ fungsional
sampai sub seluler atau
molekuler.
Dari
uraian diatas dapat dijelaskan bahwa hakikat dari ilmu keperawatan adalah mempelajari
tentang respon manusia
terhadap sehat dan
sakit yang difokuskan pada
kepedulian perawat terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pasien atau
disebut dengan care.
Hal ini berbeda
dengan hakikat kedokteran adalah pengobatan atau disebut cure.
2.5.1 Ontologi
Keilmuan Keperawatan
Dua aspek
penting dari ontologi keilmuan
dalam keperawatan yaitu (1)
prinsip penafsiran tentang
realitas dan (2)
batas-batas telaahan. Prinsip penafsiran
tentang realitas keilmuan
keperawatan antara lain mencakup
beberapa pernyataan seperti
realitas adalah gejala
fisik yang berwujud sebagai fakta
data. Realitas yang kita ketahui hanya
merupakan perkiraan dari kenyataan
yang sebenarnya. Realitas
itu diungkapkan sebagaimana adanya (das Sein)
tanpa terikat oleh nilai-nilai
tertentu di luar kenyataan tersebut.
Dalam menafsirkan realitas,
keilmuan keperawatan mempunya beberapa anggapan dasar (asumsi, premis) yakni uniformitas, relative
tetap, dan memiliki
pola kejadian yang
baku.
Uniformitas ialah
bahwa setiap wujud
kehidupan manusia mempunyai keserupaan dengan
wujud lainnya dilihat
dari kriteria tertentu
seperti kuantitas, kualitas, atau modus. Relative tetap artinya bahwa
dalam jangka waktu tertentu setiap
wujud memiliki bentuk
yang tetap misalnya ketegangan (tension),
kecemasan, depresi, kesedihan, penolakan
(denial), dan coping, sebelum berubah bentuk menjadi wujud lain misalnya
: stress, gembira, penerimaan. Setiap
kejadian mempunyai pola
baku yang tetap dan
tidak bersifat kebetulan
misalnya kandungan air
dan elektrolit berhubungan dengan
energy tubuh, oksigen
berkaitan dengan keadaan sesak nafas dan kematian jaringan.
Batas-batas telaahan
kegiatan keilmuan secara umum adalah wilayah empiric, dalam
arti daerah yang
dapat ditangkap oleh
panca indera
manusia. Dunia keilmuan
dibagi dua golongan
yaitu (1) pengetahuan ilmiah dan
(2) sarana pengetahuan
ilmiah. Sarana pengetahuan
ilmiah adalah alat yang
membantu kegiatan dalam
memperoleh dan menyusun pengetahuan ilmiah, misalnya :
bahasa, logika, matematika, statistika, dan metode penelitian.
Ontology ini berbeda
dengan sarana pengetahuan ilmiah, demikian
pula dengan epistemolog
dan aksiologinya. Kegiatan penelitian yang
menyangkut sarana pengetahuan
ilmiah adalah bersifat ilmiah, sebab merupakan bagian
integral dari dunia keilmuan.
Setiap
disiplin keilmuan termasuk pengetahuan ilmiah memiliki objek formal dan objek material mengenai
wujud yang menjadi
fokus
penelaahannya, yang seharusnya
berbeda dari obyek formal dan obyek material disiplin
keilmuan lainnya. Obyek formal
adalah cara pandang terhadap sesuatu, misalnya bahwa
perawat memandang masalah kliennya berfokus
pada tidak atau
kurang adekuatnya pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan yang
terkait dengan kesehatan
potensial maupun kesehatan aktual. Obyek
material adalah substansi
dari obyek formal,
misalnya apabila obyek formalnya klien dengan masalah gangguan
pernafasan, maka obyek materianya adalah saluran pernafasan, oksigen,
karbondioksida, dan sebagainya.
Pertanyaan
yang sering muncul ialah perbedaan obyek formal dan obyek
materia antara pengetahuan
ilmiah keperawatan, kedokteran, dan kesehatan
masyarakat. Walaupun diakui
batas-batasnya, namun dalam
praktik seringkali sulit dibedakan
yang disebabkan komponen aksiologi yang tumpang tindih dan
bertautan erat antara tujuan pengasuhan (caretive) dengan
tujuan pengobatan (curative)
dan pencegahan (preventive). Inilah
tolok ukur pertama
untuk menilai keberadaan
dan kemandirian disiplin pengetahuan
keperawatan ilmiah dari
pengetahuan ilmiah lainnya (misalnya ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan
masyarakat). Dengan perkataan lain, objek formal dan objek material yang jelas dan tegas
dari pengetahuan keperawatan akan merupakan ciri-ciri yang spesifik dari disiplin keilmuan
keperawatan.
2.5.2 Epistemologi Keilmuan
Keperawatan
Epistemologi keilmuan
keperawatan secara lebih
rinci dapat dilihat dari aspek-aspek sifat, proses,
dan fungsi pengetahuan keperawatan ilmiah yang
telah diperoleh dan
tersusun secara rasional,
logis, dan sistematis. Ketiga aspek di atas bersifat
saling berhubungan, kait mengkait dengan arti dimulai dari
sifat, namun sebaliknya
bahwa proses (pengetahuan keilmuan) ditentukan oleh sifat
(pengetahuan keilmuan) dan bahwa fungsi (pengetahuan keilmuan)
turut menentukan bagaimana
proses perolehan dan penyusunan
pengetahuan keilmuan itu dilakukan. Masyarakat ilmiah keperawatan
seyogyanya lebih terorganisis dengan mengharapkan untuk
memperoleh dan menyusun
pengetahuan keilmuan yang
memiliki sifat-sifat
bahwa pengetahuan keilmuan yang (biasanya) dihasilkan secara
individual itu adalah
untuk dan milik
umum (public knowledge).
Untuk
ini diperlukan komunikasi ilmiah, yang artinya bahwa pengetahuan keilmuan yang diperolehnya wajib dikomunikasikan kepada masyarakat ilmuwan
lewat publikasi ilmiah.
Jadi apabila ilmuwan
yang menyimpan penemuannya dikantung baju atau di perpustakaan
pribadinya, belum bisa dikategorikan
sebagai pengetahuan keilmuan.
Masyarakat ilmiah keperawatan juga tidak boleh terlalu bersifat skeptic
dan eksklusif, yang hanya melihat
kebenaran ilmiah dari
sudut pandang pribadi
atau profesinya saja, sebab pada dasarnya pengetahuan
keilmuan memiliki akar dan metode ilmiah
yang sama.
Hal inilah
yang merupakan salah
satu kelemahan umum yang sering terjadi pada setiap kelompok ilmuwan dan
profesi, namun perlu
diupayakan untuk diredusir
dan dihilangkan. Pengetahuan keilmuan
itu haruslah bersifat
obyektif, dalam arti
bahwa setiap orang yang
mempelajari obyek yang sama dengan
cara yang sama akan sampai
kepada kesimpulan yang
sama pula. Pengetahuan
keilmuan yang disusun merupakan abstraksi yag
mereduksikan realitas menjadi konsep, dengan tingkat generalisasi
yang tinggi.
Mekanisme yang
memproses pengetahuan keilmuan
tersebut adalah metode ilmiah
yang mengandung tiga bagian, yaitu :
- proses keabsahan (validitas)
- proses kebenaran
- proses penyusunan.
Proses keabsahan
pengetahuan keilmuan menetapkan
persyaratan yang harus dipenuhi
oleh suatu kegiatan
agar dianggap sah secara
keilmuan. Persyaratan ini ialah : logis, analitis, dan sistematis
adalah sah menurut kriteria ilmiah.
Selanjutnya suatu pengetahuan
diperlukan pula kriteria kebenaran
ilmiah, yang ditentukan
melalui pengujian secara empiris, yang sifatnya logis,
analitis, dan sistematis. Pengetahuan keilmuan
bidang keperawatan yang
diperoleh dan disusun sedemikian
rupa memiliki fungsi yang jelas bagi dunia keilmuan untuk mendeskripsikan, menjelaskan,
memprediksikan, serta mengontrol gejala atau
fenomena
bio-psiko-sosial-kultural-spiritual
manusia sebagai individu, keluarga
dan kelompok dalam
kaitan dengan tujuan
kesehatan dan kesejahteraan yang
optimal bagi mereka.
Teori keperawatan
yang dihasilkan akan bermutu tinggi apabila memiliki keempat kriteria di
atas, dan di sinilah
tolok ukur kedua,
dalam menilai konsep-konsep yang diajukan
oleh disiplin keilmuan
“baru” seperti pengetahuan
keperawatan ilmiah yang mulai
tumbuh untuk berkembang.
Memang, seringkali terdapat
beberapa macam teori atau pendekatan yang diajukan, dan hal itu adalah wajar-wajar saja,
malah menggembirakan sebab
suatu fokus permasalahan terkadang
tidak dapat diselesaikan
oleh hanya satu pendekatan saja.
Yang penting adalah
kita harus bisa
membedakan gradasi, efisiensi, dan efektivitas berbagai pendekatan yang
diajukan.
Keperawatan lahir
sejak naluriah keperawatan
lahir bersamaan dengan penciptaan
manusia. Orang-orang pada zaman dahulu hidup dalam keadaan primitive.
Namun demikian mereka
sudah mampu sedikit pengetahuan dan
kecakapan dalam merawat
atau mengobati. Pekerjaan "merawat" dikerjakan berdasarkan naluri (instink) naluri binatang
"mother instinct" (naluri keibuan)
yang merupakan suatu
naluri dalam yang bersendi
pada pemeliharaan jenis
(melindungi anak, merawat
orang lemah). Perkembangan
keperawatan dipengaruhi dengan
semakin maju peradaban manusia
maka semakin berkembang keperawatan.
Diawali
oleh seorang Florence Nightingale
yang mengamati fenomena
bahwa pasien yang dirawat dengan
keadaan lingkungan yang bersih ternyata lebih cepat sembuh dibanding
pasien yang dirawat
dalam kondisi lingkungan
yang kotor. Hal ini
membuahkan kesimpulan bahwa
perawatan lingkungan
berperan dalam keberhasilan
perawatan pasien yang
kemudian menjadi paradigma
keperawatan berdasarkan
lingkungan. Semenjak itu banyak pemikiran baru
yang didasari berbagai tehnik untuk
mendapatan kebenaran baik
dengan cara Revelasi
(pengalaman pribadi),
otoritas dari seorang
yang ahli, intusisi
(diluar kesadaran), common sense
(pengalaman tidak sengaja),
dan penggunaan metode ilmiah
dengan penelitian-peneltian dalam
bidang keperawatan. Sehingga muncullah paradigma lain
diantaranya:
1. Peplau (1952) : Teori interpersonal sebagai dasar
perawatan
2. Orlando (1961) : Teori komunikasi sebagai
dasar perawatan
3. Johnson (1961) : Stabilitas sebagai tujuan
perawatan
4. Roy (1970) : Teori adaptasi sebagai dasar
perawatan
5. Rogers (1970) : konsep manusia yang unik
6. King (1971) : Proses transaksi perawat-klien
7. Orem (1971) : Kemandirian pasien untuk
merawat dirinya sebagai tujuan perawatan
2.5.3 Aksiologi Keilmuan
Keperawatan
Aksiologi keilmuan
menyangkut nilai-nilai yang
berkaitan dengan pengetahuan ilmiah
: baik internal,
eksternal, maupun social.
Baik nilai-nilai yang
berkaitan dengan wujud
maupun kegiatan ilmiah
dalam memperoleh
pengetahuannya. Lain halnya
dengan landasan ontologism yang mengungkapkan
dan menyatakan realitas
sebagaimana adanya (das Sein) yang dalam konteks ini ditafsirkan
sebagai bebas nilai, maka landasan aksiologis baik internal, eksternal, maupun
social adalah sarat nilai. Secara internal,
misalnya disebutkan bahwa
tidak setiap wujud
empirik dapat dijadikan sebagai
objek penelitian, terutama
yang berkaitan dengan
fitrah (hak-hak
azasi) manusia. Rekayasa genetic dalam bentuk “kloning”, telah menimbulkan masalah
moral.
Penelitian dalam ilmu
kedokteran ini dikontrol dengan
ketat oleh nilai-nilai aksiologis
yang sifatnya internal. Penelitian keperawatan
(nursing research) dan
penelitian dalam keperawatan. (research
in nursing), memang
belum dikembangkan secara sungguh-sungguh, yang sama sekali berbeda
dengan pendekatan penelitian bidang
kedokteran, psikologi, sosiologi,
antropologi, pendidikan, dan sebagainya, walaupun
beberapa bagian dari
pengetahuan ilmiah tentang ilmu-ilmu tersebut dipinjam dan dimasukkan
ke dalam ilmu keperawatan. Nilai eksternal
menyangkut nilai-nilai yang berkaitan
dengan penggunaan
pengetahuan ilmiah. Seperti
juga ditemukannya atom
atau nuklir yang bisa membawa berkah atau bencana bagi hidup dan
kehidupan manusia. Hal ini
sangat tergantung dari
manusia yang menggunakannya. Oleh karena itulah maka kode
etik merupakan suatu persyaratan mutlak bagi eksistensi praktik profesi.
2.6 Penerapan Pancasila sebagai Sistem Filsafat dalam PraktIk Keperawatan
Dalam setiap aspek bidang yang ditekuni setiap warga
masyarakat tidak dapat disangkal lagi bahwa, berbagai bentuk dinamika hidup
berbangsa dan bermasyarakat tidak terlepas dari eksistensi Pancasila. Secara
sadar maupun tidak sadar, manusia Indonesia dituntut menerapkan prinsip-prinsip
hakiki yang lahir dan berkembang dalam masyarakat yang kemudian dituangkan
dalam Pancasila.
Sebagai suatu dasar filsafat Negara maka sila-sila
pancasila merupakan suatu system nilai, yaitu sila-sila pancasila itu pada
hakekatnya merupakan suatu kesatuan. Hal ini berdasarkan pada pengertian bahwa
makna sila-sila pancasila senantiasa dalam hubungannya sebagai sistem filsafat[2].
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila
adalah sebagai berikut:
1. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Didalamnya terkandung nilai bahwa Negara yang
didirikan adalah pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan
penyelenggaraan Negara bahkan moral
Negara, moral penyelenggaraan Negara, politik negara,
hukum dan peraturan perundang-undangan
Negara, kebebasan dan hak asasi warga Negara harus berdasarkan nilai-nilai
ketuhanan yang Maha Esa[3].
Dalam praktek keperawatan, sila pertama ini
memberikan suatu alasan kepada para pemberi pelayanan kesehatan yang
berhubungan dengan perlakuan terhadap pasien sebagai manusia yang adalah
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang patut diperlakukan sesuai kodratnya sebagai
ciptaan. Asas inilah yang digenggam dan merupakan suatu alasan bertindak yang
manusiawi oleh perawat terhadap pasien.
·
Bahwa
kita meyakini akan adanya Tuhan yang selalu mengawasi setelah tindakan-tindakan
kita, sehingga perawat harus mampu menjaga perilaku dan etika dengan baik serta
merawat pasien sebagaimana mestinya.
·
Perawat
juga harus saling menghormati pemeluk agama lain terutama pada pasien. Perawat
wajib membantu pasien yang ingin menghormati dan melaksanakan ibadahnya saat
pasien dalam keadaan keterbatasan.
·
Pelayanan
keperawatan yang diberikan kepada pasien bukan saja dipertanggungjawabkan
kepada sesama manusia tetapi juga terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
·
Perawat menganggap profesi pelayanan sebagai bagian dari ibadah
·
Perawat mendukung sejawat, kolega dan klien mengembangkan kehidupan yang
religius dalam kegiatannya, contohnya mengingatkan pasien untuk berdoa bagi
kesembuhan diri, sesuai dengan agama dan kepercayaan pasien tersebut.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa
Negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang beradab. Terkandung makna bahwa, masyarakat
Indonesia sebagai manusia yang melaksanakan keadilan dan sebagai manusia yang
menghargai orang lain.[4]
Dalam keperawatan, sila ini sangat berkaitan erat
dengan prinsip dalam keperawatan yakni mengenai respek pada autonom, dimana setiap individu harus memiliki
kebebasan untuk memilih rencana kehidupan dan cara bermoral mereka sendiri.
Bagian dari kodrat manusia yang hidup bersama meliputi respek terhadap keunikan
dari setiap orang. Karena tidak terdapat dua orang atau situasi yang
benar-benar sama, prinsip autonomi mengarahkan perhatian moral perawat pada penentuan secara berhati-hati tentang
nilai klien[5].
·
Seorang
perawat harus mampu mempunyai rasa kemnausiaan dan moralitas yang tinggi terhadap sesama. Karena dengan
begitu, antara perawat dan pasien akan terjalin
hubungan yang baik. Perawat akan merasakan kepuasan batin bila ia mampu
membantu penyembuhan pasien dan pasien sendiri merasa puas atas pelayanan
keperawatan yang diberikan, dengan kata lain terjadi interaksi antara perawat
dan pasien.
·
Pekerjaan
perawat merupakan panggilan kemanusiaan dengan mendahulukan kepentingan klien.
·
Pekerjaaan
perawat adalah panggilan kemanusiaan, maka imbalan jasa yang menjadi haknya
tidak bisa disamakan dengan jasa dalam usaha lain, karena sifat pekerjaan
perawat adalah pekerjaan mulia.
·
Perawat
dalam memberikan pelayanan harus mendahulukan kepentingan masyarakat.
·
Perawat memperlakukan klien sesuai dengan prosedur tindakan, menghindari
kelalaian, memastikan klien merasa nyaman atas pelayanan.
·
Perawat menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga
·
Perawat memegang peran advokasi klien
3. Persatuan
Indonesia.
Dalam sila terkandung nilai bahwa Negara adalah
sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk
individu dan sosial[6].
Dalam profesi keperawatan, seorang tenaga medis tidak boleh bekerja sendiri
melainkan membutuhkan orang lain (kodrat sebagai makhluk sosial) dalam
menjalankan tugasnya.
·
Perawat
dapat menopang hubungan kerja sama dengan teman
kerja, baik tenaga keperawatan maupun tenaga profesi lain di keperawatanagar
tidak terjadi konflik yang menimbulkan perpecahan dalam menyelesaikan masalah
yang dimiliki oleh pasien.
·
Perawat
dalam kerjasama dengan teman sejawat harus memelihara saling pengertian dengan
sebaik-baiknya.
·
Perawat
bertindak melindungi klien dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis, dan legal.
·
Perawat mendahulukan kepentingan umum dalam memberikan pelayanan.
·
Bangga dengan jatidiri sebagai perawat Indonesia.
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Nilai filosofi yang terkandung didalamnya adalah
bahwa hakikat Negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan sosial. Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan
harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah Negara[7].
Dalam praktek keperawatan, setiap perawat sebelum
melakukan tindakan harus memberitahkan (perihal musyawarah) kepada pasien apa
tindakan yang dilakukan beserta tujuan dari tindakan yang akan dilakukan.
Selain itu hasil dari diagnosa harus diberitahukan kepada pasien dan keluarga
pasien. Dalam etika keperawatan, hal ini sesuai dengan Informend Consent dan Advance Directive. Informed consent
meningkatkan dan menghargai autonomi dengan mengembangkan pengetahuan klien
atas pilihannya. Advance directive adalah bentuk komunikasi dimana seseorang
dapat memberi petunjuk tentang bagaimana mereka ingin diperlakukan ketika
mereka tidak dapat melakukannya sendiri. Sebelum operasi misalnya, dokter harus
memberikan informasi tertentu pada klien.[8]
·
Dalam
melaksanakan tindakan, perawat perlu membuat keputusan berdasarkan musyawaraah
dan kerja samaa dengan dokter atau ahli medis lain. Tidak dibenarkan membuat
keputusan sepihak demi keputusan sendiri.
·
Bermusyawarah berlandaskan etika, fakta, dan data yang valid serta
komprehensif.
·
Perawat
menggunakan ilmu keterampilannya untuk kepentingan pasien dan bila tidak mampu
wajib merujuk kepada yang lebih mampu.
·
Perawat
mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung
berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan.
5. Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia
Dalam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai
yang merupakan tujuan Negara sebagai tujuan dalam hidup bersama. Maka didalam
sila kelima tersebut terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam
kehidupan bersama (kehidupan sosial)[9]. Dalam kaitannya dengan praktek keperawatan,
sila ini berpapasan dengan prinsip-prinsip etika keperawatan, khususnya mengenai justice (keadilan) dimana prinsip
keadilan menuntut perlakuan terhadap orang lain yang adil dan memberikan apa
yang menjadi hak orang lain. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional
ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek
dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. Setiap
orang harus mendapat pelayanan kesehatan yang sama dan seimbang[10].
·
Memperlakukan klien secara adil tanpa memandang status dan golongan.
·
Pelayanan yang diberikan berdasarkan nilai luhur, niat yang murni untuk
keselamatan dan kesejahteraan umat tanpa membedakan kebangsaan, suku, ras,
warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, agama yang dianut, serta
kedudukan sosial.
·
Mendahulukan terpenuhinya hak-hak klien sebelum menuntut hak-haknya sebagai
perawat.
·
Menghargai kontribusi profesi lain dalam penanganan klien.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pancasila sebagai sistem filsafat dalam keperawatan pada
dasarnya dijadikan sebagai acuan dasar dalam segala tindakan yang berhubungan
dengan keperawatan. Dari uraian yang ada di atas bahwa filsafat pancasila dalam
keperawatan adalah nilai-nilai dasar pancasila yang saling berhubungan satu
dengan lainnya menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh dan kemudian
nilai-nilai dari Pancasila tersebut diterapkan dalam segala tindakan dan perilaku
perawat.
Perawat dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
perawat diwajibkan memberikan pelayanan terbaik untuk pasien. Dengan
mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dari sila pancasila perawat
akan memberikan pelayanan dengan tulus kepada pasien tanpa membeda-bedakan dan
juga bukan semata-mata karena materi yang didapat.
3.2 Saran
Menyadari Pancasila sebagai filsafat sangatlah penting,
walaupun sebagai seorang perawat diharuskan menjunjung tinggi dan mengamalkan
sila-sila pancasila dengan penuh tanggung jawab. Dalam dunia keperawatan
sebagai seorang perawat dalam melakukan segala tindakan yang berhubungan dengan
keperawatan sebaiknya menggunakan nilai-nilai dasar pancasila sebagai salah
satu landasan.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan.2016. Pendidikan
Kewarganegaraam. Yogyakarta: Paradigma
Kaelan.2016. Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paradigma
http://dwirestarina.blogspot.co.id Perawat Professional Indonesia (diakses 20 September 2017)
https://aanborneo.blogspot.co.id/2012/11/makalah-filsafat-dalam-keperawatan.html
(diakses 20 September 2017)
http://dewimynurse.blogspot.co.id/2017/01/v-behaviorurldefaultvmlo_16.html
(diakses 21 September 2017)
http://karyatanganzaenalmibrahim.blogspot.co.id/2014/11/implementasi-nilai-nilai-pancasila-pada.html
(diakses 21 September 2017)
[1] Kaelan H. dan Zubaidi Achmad. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. (Yogjakarta:Paradigma) 2010. hal
7-8.
[2] Ibid, Kaelan dan Zubaidi
Achmad. Hal 31.
[3] Ibid, Hal 31.
[4] Ibid, Hal 32.
[5] Potter & Perry, 2005, Fundamental Keperawatan, Jakarta, ECG. Ed
4. Hal 420.
[6] Ibid, Kaelan dan Zubaidi
Achmad. Hal 33.
[7] Ibid. Hal 35
[8] Ibid, Potter & Perry,
2005. Ed 4. Hal 422.
[9] Ibid, Kaelan H. dan
Zubaidi, Achmad. Hal 36.
[10] Ibid, Potter & Perry,
2005. Ed 4. Hal 421.
No comments:
Post a Comment