Thursday, January 12, 2017

MAKALAH SEJARAH PENYEBAB KEMENANGAN PARTAI GOLKAR DALAM PEMILU DI ERA ORDE BARU

MAKALAH SEJARAH
PENYEBAB KEMENANGAN PARTAI GOLKAR DALAM PEMILU DI ERA ORDE BARU


Kelompok 5
Anggota Kelompok:
1.  Ahmad Nur Rifa’i                 (1)
2.  Ayuk Sri Windarti                (8)
3.  Defi Fatikhatul Hidayah      (11)
4.  Eli Ermawati                                 (18)
5.  Ismi Nur Karomah                (22)
6.  Novita Koirun Nisa               (30)

KELAS XII IPA 2

SMA NEGERI 1  JAKENAN

TAHUN PELAJARAN 2016/2017

KATA PENGANTAR


Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah S.W.T. atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas membuat makalah yang berjudul “Kemenangan Golkar dalam Pemilu di Era Orde Baru”.
Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mapel Sejarah. Kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada kami dalam membuat makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum maksimal dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukan, kritikan dan saran yang membangun dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca.



Jakenan, 5 Agustus 2016




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang.......................................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah.......................................................................................................1
1.3  Tujuan Penulisan........................................................................................................ 1

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Sejarah Partai Golkar............................................................................................... 2
2.2  Visi dan Misi Partai Golkar....................................................................................... 3
2.3  Kemenangan Golkar dalam Enam Kali Pemilu.......................................................... 4
2.4  Penyebab Kemenangan Partai Golkar Dalam Pemilu di Era Orde Baru..................... 8

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan…............................................................................................. 13
3.2  Saran.......................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 14

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Partai politik merupakan suatu wadah untuk masyarakat dalam berpartisipasi politik. Partai politik juga merupakan sarana komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat. Peranan partai politik sangat mempengaruhi sistem politik di suatu negara. Di Indonesia juga partai politik dijadikan sebagai perantara antara pemerintah dengan warga negara.Sebagai negara yang menganut demokrasi, partai politik di Indonesia juga tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, itu terjadi sebelum runtuhnya Orde Lama. Namun, pada era Orde Baru, partai politik tidak seberkembang pada masa Orde Lama. Terkecuali partai Golkar, yang merupakan partai di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Partai Golkar awalnya bernama Sekber Golkar. Sekber ini merupakan perkumpulan dari golongan fungsional. Sekber Golkar ini, pada mulanya tidak terkenal. Namun, pada saat Pemilihan Umum 1971 Sekber ini berubah menjadi partai politik setelah kemenangannya pada pemilu tersebut. Setiap diadakannya Pemilihan Umum, partai ini selalu unggul di atas lima puluh persen jauh melampaui target semula sampai pada tahun1998. Beberapa pengamat melihat bahwa Golkar kini telah menjadi sebuah Institusi, tapi yang lainnya meragukan bahwa ia bisa bertahan tanpa dukungan Presiden Soeharto. Partai Golkar ini juga sangat diistimewakan oleh kalangan militer.

1.2  Rumusan Masalah
Dari permasalahan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah sejarah perkembangan Sekber Golkar setelah menjadi partai politik?
2.      Faktor apakah yang menyebabkan Golkar selalu unggul dalam setiap pemilu pada era Orde Baru?
3.      Mengapa Partai Golkar sangat diistimewakan oleh kalangan militer? Ada apa di balik pengistimewaan Partai Golkar dari pada partai lainnya?


1.3  Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas dapat ditentukan tujuan penulisan sebagai berikut:

1.      Mengetahui sejarah perkembangan Sekber Golkar setelah menjadi partai politik
2.      Mengetahui faktor-faktor yang menjadikan Golkar selalu menang dalam setaip kali pemilu pada era Orde Baru
3.      Mengetahui misteri Partai Golkar yang diistimewakan oleh kalangan militer dan mengetahui yang apa yang ada di balik itu semua.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Sejarah Sekber Golkar
Sejarah Partai Golkar bermula pada tahun 1964 dengan berdirinya Sekber Golkar di masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Sekber Golkar didirikan oleh golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama.Golongan Karya (Sekber Golkar).
Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu.Terpilih sebagai Ketua Pertama Sekber Golkar adalah Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) 1, Desember 1965.
Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945.Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291organisasi.
Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
4. Organisasi Profesi
5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
7. Gerakan Pembangunan
Untuk menghadapi Pemilu 1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (GOLKAR). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang. Pada Pemilu 1971 ini, Sekber GOLKAR ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan GOLKAR sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik GOLKAR kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke GOLKAR.
Hasilnya di luar dugaan. GOLKAR sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh provinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.
Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi GOLKAR. GOLKAR menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya.
September 1973, GOLKAR menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).Setelah Peristiwa G30S maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno.
Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.
Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis. Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa.
1.       Djuhartono (1964-1969)
2.       Suprapto Sukowati (1969–1973)
3.       Amir Moertono (1973–1983)
4.       Sudharmono (1983–1988)
5.       Wahono (1988–1993)
6.       Harmoko (1993–1998)
7.       Akbar Tandjung (1998–2004)
8.       Jusuf Kalla (2004–2009)
9.       Aburizal Bakrie (2009–2014 & Januari-Mei 2016)
10.    Aburizal Bakrie & Agung Laksono (dualisme kepemimpinan) (2014-2016)
11.    Setya Novanto (2016–2019)

2.2       Visi dan Misi Partai Golkar
Tujuan Partai GOLKAR pada dasarnya adalah sama dengan tujuan sejak kelahirannya, yaitu :
1.    Mempertahankan, mengamankan dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945.
2.    Mewujudkan cita-cita bangsa sebagai mana di maksud dalam UUD 1945.
3.    Menciptakan masyarakat adil dan makmur merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4.    Mewujudkan Kedaulatan Rakyat dalam rangka mengembangkan kehidupan Demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi dan menghormati kebenaran, keadilan, hukum dan hak asasi manusia.

Misi Partai GOLKAR
Misi yang dikembangkan dalam perwujudan fungsinya selalu politik, yaitu :
1.      Mempertegas komitmen untuk menyerap, memadukan, mengartikulasikan, dan memperjuangkan aspirasi serta kepentingan rakyat - khususnya kelompok masyarakat yang berada pada posisi marginal yang selama ini kurang mendapat perhatian dan acap kali menjadi korban pembangunan, sehingga menjadi kebijakaan politik yang bersifat publik.
2.      Melakukan rekruitment kader yang berkualitas melalui sistem prestasi dan mendapat dukungan rakyat untuk duduk dalam jabatan-jabatan politik di lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan dan permerintahan. Jabatan politik tersebut diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
3.      Meningkatkan proses pendidikan dan komunikasi politik yang dialogos dan partisipatif, yaitu membuka diri terhadap berbagai pikiran, aspirasi dan kritik dari masyarakat.

2.3       Kemenangan GOLKAR dalam Enam Kali Pemilu
Setelah Soekarno mundur secara terpaksa dan hancurnya PKI, militer menjadi aktor politik terpenting saat itu, termasuk Soeharto yang merupakan dari kalangan militer untuk menjadi presiden.
1.      Golkar dan Pemilu 1971
Pemerintah tampaknya telah benar-benar siap untuk menghadapi pemilu. Partai pemmerintah, sekber Golkar, telah membuat “akselerasi modernisasi” untuk Indonesia dalam jangka 25 tahun mendatang sebagai tema pokok kampanye pemilu. Sekber Golkar yang menjadi simbol dari pembangunan yang pesat dan modernisasi, menampilkan dirinya sebagai alternatif satu-satunya untuk modernisasi Indonesia.
Ada yang harus diketahui tentang sekber Golkar pada waktu itu:
a.       Sebelum pemilu 1971, terutama menyangkut komponen-komponennya yang beragam. Setelah pertemuan di Hankam dan kekalahan Kino untuk menjadi sebuah unit interdependen dalam pemilu, anggota kino, khususnya Trikarya, tidak lagi aktif dalam masa persiapan pemilu. Benar bahwa beberapa orang ketua Kino juga termasuk dalam kepemimpinan Golkar, tapi tampaknya mereka tidak berpartisipasi aktif dalam kampanye. Golkar pun jatuh ke tangan Moertopo.
b.      Kokarmendagri (Korps Karyawan Kementrian Luar Negeri), tampak sekali faksi Moertopo-Soekawati berada di balik semua ini. Tujuannya untuk menggalang dukungan kepada Golkar selama pemilu. Akan tetapi jauh sebelum dibentuknya korps-korps karyawan ini, sudah ada kokarmendagri  yang cukup kuat. Tidak diragukan lagi bahwa kokarmendagri memberikan sumbangan yang penting dalam kemenangan sekber Golkar pada pemilihan umum. Di samping itu Kokarmendagri juga membuat peraturan untuk pegawai negeri, bahwa pegawai negeri harus memiliki “mono-loyalitas”, dan pegawai negri tidak boleh menjadi anggota partai manapun. Ketika pemilihan umum semua pegawai negri di instruksikan untuk memilih sekber Golkar.
c.       Pejabat-pejabat Militer dan para kepala desa dimobilisasi untuk menjamin agar penduduk desa memilih Golkar. Namun demikian, pejabat-pejabat Militer lokal sering bertindak secara interdependen dari Bapilu untuk menunjukan bahwa mereka memiliki ekuatan pemilu di atasnya.
Hasil dari itu semua, Golkar memenangkan pemilu periode 1971. Setelah pemilu sekber Golkar melakukan reorganisasi termasuk merubah namanya menjadi Golkar. Sebuah publikasi Golkar menyatakan bahwa presiden Soeharto telah dimintai saran tentang reorganisasi itu melau Letjen Darjatmo yang kemudian menyampaikan petunjuk Soeharto kepada Golkar. Itu berarti Soeharto telah terlibat dalam proses itu. Sangat mencurigakan lagi pada saat akan diadakan Munas pertama setelah pemilu ketua Golkar Sokowati meninggal dunia.
Setelah tiga tahun pemilu tepatnya pada tanggal 15 Januari 1974, terjadi sebuah kerusuhan yang dikenal dengan keruseuhan 15 januari atau Malari. Kerusuhan itu dipicu karena penguasa dinilai terlalu membuka diri pada asing, terutama pada Jepang. Pemerintah orde Baru pimpinan Soeharto telah melanggar aturan Demokrasi.

2.      Golkar dan Pemilu 1977
Oposisi terhadap pemerintahan Soeharto mulai muncul setelah pemilu 1971, terutama dari mahasiswa, kelompok-kelompok Muslim, dan para cendekiawan, dengan dukungan dari suatu lapisan tertentu dikalangan militer.  Oposisi ini muncul kembali menjelang akhir 1977. Oposisi paling mencolok berasal dari kalangan Mahasiswa. Mereka bersikap kritis terhadap kebijaksanaan pembangunan yang diterapkan pemerintah dan meluasnya kesenjangan pendapatan. Mereka juga mengecam pemerintah karena telah berjangkitnya korupsi.
Pada  pemilu tahun 1977 ini ada tiga partai yang mengikuti pemilihan, pertama Partai Persatuan Pembangunan, kedua Partai Demokrasi Indonesia, dan yang terakhir Golkar
Pada pemilu 1977 in juga mengandung unsur kejanggalan, yaitu:
a.       Golkar menyatukan berbagai unsur kekuatan politik terhadap partai lawan, yang memungkinkan konflik internal yang semakin besar, sehingga Golkar menjadi pemenang dalam pemilu.
b.      Pemerintah Orde Baru juga melakukan intervensi politik kedalam partai, agar partai selalu dalam keadaan “mandul”. Misalkan saja, pemerintah melarang Guruh Soekarnoputra untuk menjadi juru kampanye PDI, rezim khawatir kalau kharisma Soekarno muncul melalui Guruh. Rhoma Irama pun dilarang berkampanye untuk memenangkan PPP. Ini dimaksudkan agar pemikiran rakyat hannya tertuju pada Golkar.
c.       Adanya pertemuan selama tiga hari yang membahas masalah-masalah yang ada. Ada spekulasi bahwa beberapa orang jenderal tidak setuju dengan Soeharto tetapi akhirnya mau setelah dibujuk untuk memberikan dukungan mereka. 
d.      Adanya penahanan yang dilakukan pemerintah terhadap mahasiswa ataupun kaum muslim yang melakukan perlawanan.
e.       Menjelang pemilu calon presiden hanya satu-satunya yaitu Soeharto, mereka cukup berhasil dalam mengendalikan situasi.
f.       Kabinet baru Soeharto berasal dari kalangan militer dan sipil, Soeharto tidak menggunakan kelompok Golkar lama.
Setelah pemilu berlangsung, para pengkritik pemerintah mengadakan sebuah kongres yaitu kongres Kosgoro, pada kongres yang ke empat kalinya ini, ketua umum kongres Kosgoro berkomentar bahwa kaum intelektual Indonesia harus berorientasi pada rakyat, dan sebagai negara konstitusional Undang-undang harus ditegakkan, hubungan antara Golkar, Militer dan Pemerintahpun harus diperbaiki dan Golkar tidak perlu bergantung pada militer dan pemerintah.

3.      Golkar dan Pemilu 1982
Pemilu 1977 telah memenangkan Soeharto sebagai Presiden  semakin memperkuat posisi Golkar. Pada saat yang sama, pemerintah menjadi semakin terlibat pada masalah stabilitas politik dan kemudian memperkenalkan pengawasan yang lebih ketat terhadap oposisi, khusunya dari Mahasiswa dan kelompok-kelompok Islam. Despolitisi Mahasiswa dan pengawasan terhadap pengaruh Islam poitik adalah dua langkah yang diambil pemerintah.
Pemerintah mengeluarkan RUU NKK (Rancangan Undang Undang Normalisasi Kehidupan Kampus), RUU NKK itu berisi tentang Mahasiswa yang tidak perlu untuk mengikuti kegiatan di luar kampus. Pemerintah berusaha untuk mengganti dewan-dewan dengan pilihan rektor, mahasiswa menganggap bahwa pemerintah akan mengganti dewan-dewan dengan dewan-dewan baru yang pro-pemerintah. Ini semua semakin membuat mahasiswa berontak.
Pada awal 1982 keputusan presiden tentang kampanye dikeluarkan, peraturan ini mulai diberlakukan sejak 5 Januari 1982. Peraturan ini semakin ketat dari peraturan sebelumnya, yaitu sebagai berikut:
a.       Peraturan ini menetapkan bahwa kontestan harus menyerahkan rencana kampanyenya tujuh hari sebelum proses kampanye dimulai.
b.      Proses kampanye hanya berlangsung 14 hari.
c.       Banak calon-calon yang dibatalkan karena pejabat yang menyeleksi tidak suka.
d.      Menteri Penerangan Moertopo mendesak kepada anggota Korpri untuk melakukan kampanye dikalangan mereka sendiri untuk memilih Golkar. Selain itu Moertopo juga menginstruksikan kepada para pejabat jajaran penerangan di daerah untuk memilih Golkar, jika tidak memilih Golkar mereka tidak Loyal
e.       Sebelum pemilu 1982 pemerintah telah mengangkat kepala desa menjadi pagawai negeri, dengan itu kepala desa telah menjadi bagian dari anggota korpri, sebuah strategi efektif yang dilakukan pemerintah karena sistem “bapak-anak” masih mengakar kuat.
Terdapat perasaan yang tidak puas dikalangan masyarakat terutama yang sadar politik, sempat terpikir oleh mereka untuk untuk mencipatakan golongan putih, tapi akhirnya mereka juga ikut untuk berpartisipasi dalam “pesta demokrasi” tersebut. Hasil dari pemilu itu Golkar tetap menjadi yang terdepan.

4.      Golkar dan Pemilu 1987
Pemerintahan tahun 1982-1987 telah menyampaikan lima RUU tentang pancasila yang akan diamandemen, RUU itu yaitu, RUU pemilu, RUU DPR/MPR, RUU amandemen parpol dan Golkar, RUU Referendum, RUU Organisasi Massa. RUU itu disampaikan oleh mentri dalam negri dengan embel-embel bahwa RUU itu sangat penting untuk kehidupan bangsa dan negara dan kelangsungan dari apa yang disebut dengan “demokrasi Pancasila”
Jika pemerintah telah sukses dengan RUU Pancasilanya, Golkar juga telah sukses mereorganisasikan dirinya, dan mentransforasikan menjadi semacam “partai kader”. Ini dimaksudkan untuk membuat organisasi itu sebagai gerakan politik yang lebih efektif di bawah kendali Soeharto pribadi. Dalam mereorganisasikan dirinya Golkar juga telah mendapatkan Ketua Umum baru yaitu Soedharmono. Di bawah kepemimpinan Soedharmono, cara mengrekrut kader pun menggunakan cara baru, yaitu pendaftaran untuk menjadi kader itu dilakukan secara sukarela. Akan tetapi meskipun begitu para pegawai negeri kebanyakan memilih Golkar daripada partai politik.
Untuk maju pada pemilu 1987 Golkar telah siap. Apalagi setelah disahkannya reorganisasi Golkar dan disahkannya Undang-Undang yang berhubungan dengan Pancasila.
Golkar juga merubah strategi berkampanyenya, yaitu memberikan peluang yang lebih besar kepada wanita dan calon-calon di bawah usia 40 tahun. Meningkatnya calon-calon wanita dan usia muda dalam daftar Golkar dimaksudkan untuk menarik dukungan dari pemilih wanita dan usia muda yang jumlahnya 20% dari populasi pemilih.
Dalam berkampanye pun Golkar sangat di untungkan, pertama dengan adanya tentara di balakang Golkar kemenangan pemilu 1987 pun semakin tidak diragukan lagi. Kedua sebagai partai oemerintah Golkar telah diberi fasilitas-fasilitas resmi jauh sebelum kampanye dimulai, ketiga pemerintah menggunakan jabatannya untuk berkampanye kepada anak buahnya, keempat di desa-desa pemerintah memasang listrik dan air minum, untuk meraih simpati dari rakyat, dan kemudian rakyat memilih Golkar pada pemilu 1987.
Pada pemilu tahun 1987 peranan tentara tidak begitu mencolok selama berlangsungnya pemilu. Beberapa pengamat mengatakan bahwa pemilu kali ini merupakan pemilu yang peling netral karena tentara bediri di atas semua pihak. Namun, tetap Golkar yang memenangkan pemilu.

5.      Golkar dan Pemilu 1992
Politik Indonesia dan khususnya Golkar telah mengalami perkembangan yang baru. Dengan mundurnya angkatan 45 ABRI sebagai pemimpin tampaknya pengaruh presiden Soeharto tidak sebesar dulu. Di samping itu, ABRI tidak lagi sekompak dulu, dan dukungan ABRI terhadap presiden pun tidak sebulat dulu. Menghadapi pemilu 1992 Presiden Soeharto menginginkan dukungan lebih banyak dari golongan Islam. Maka pemerintah pun semakin gencar mencari langkah-langkah untuk merangkul golongan Islam, yang antara lain dengan cara perginya presiden sekeluarga untuk menunaikan ibadah haji serta didirikannya Bank Muamalat Indonesia.
Tidak bisa disangkal lagi Golkar telah mempersiapkan diri untuk menggoyang pemilu 1992. Dipimpin oleh Soeharto pada tahun 1990 Golkar mengadakan rapim Golkar selama empat hari. Soeharto menegaskan bahwa pemilu 1992 bukanlah sekedar ajang kegiatan untuk memperoleh jumlah suara tetapi harus melakukan kegiatan utama yaitu melakukan peran pembangunan dan modernisasi. Dengan kata lain bahwa Golkar akan memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Golkar juga tidak akan menjaga jarak dengan ABRI maupun Birokrasi, karena Golkar akan mempertahankan hubungannya seperti selama ini. Namun, sikap ABRI terhadap Golkar kurang kompak. Ada sebagian pensiuanan ABRI yang bergabung dengan PDI.
Pada pemilihan calon legislatif, Golkar mempunyai strategi baru, yaitu dengan mencoret calon yang terlampau vokal dan latar belakangnya tidak seuai. Ada beberapa calon yang berasal dari kalangan Birokrasi dan ABRI yng tersingkir. Rupanya presiden dalam pemilu keli ini lebih menitik beratkan pada calon yang beragama Islam.

Pada tanggal 9 Juni pemilu dilaksanakan,. 90,91% pemilih telah melakukan pemilihan. Prosesnya cukup lancar meskipun bentrokan dimana-mana. Ada yang beranggapan bahwa lancarnya pemilu kali ini adalah karena sikap netralnya ABRI ketika pemilu berlangsung.
Golkar menang kembali dalam pemilu kali ini, dengan memperoleh 68,1%suara, ini melenceng dari target karena ketidaksenangan pemilih di kota-kota terhadap kesenjangan ekonomi dan sosial selama ini. Golkar menang juga karena masih adanya tekanan halus dari pemerintah pada pegawai negri untuk memilih Golkar.

6.      Golkar dan Pemilu 1997
Politik tahun 1995 boleh jadi dibilang sebuah politik yang menggairahkan. Sejumlah polemik yang di antaranya adalah suksesi, partai yang di pinggirkan, kekebalan hukum pejabat, bisnis anak pejabat (pembangunan Tol oleh anak Presiden Soeharto), kabinet yang tak kompak dan lain-lain. Selain itu juga ada kejutan-kejutan dari istana yakni, anggota F-ABRI dipangkas menjadi 25%, sistem pemilu dan dwifungsi ABRI diteliti, dan konflik-konfik NU dan PDI semakin berkepanjangan.
Pada tahun 1996 merupakan warning up menuju pemilu 1997, ditahun1996 dilakukan pendaftaran pemilih, menetapkan calon jumlah DPR dan DPRD dan pengajuan calon legislatif periode 1997-2002.
Golkarpun sudah melakukan persiapan, persiapannya sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya yakni, dengan merekrut calon terutama golongan kaum wanita, calon-calon muda dan calon-calon yang beragama Islam. Meskipun telah memangkas anggota ABRI, Golkar tidak kehilangan banyak suara justru Golkar menang kembali sesuai dengan prediksi masyarakat di dalam maupaun di luar negeri. Dengan berkampanye menggunakan cara mengiming-imingi akan memberantas korupsi dan kolusi, kemudian dengan mengumbar janji bahwa jika Golkar menang akan menghayati demokrasi secara benar. Golkar memperoleh suara 74% dari total keseluruhan. Presiden Soeharto pun merasa senang akan kemenangan tersebut. Namun, kemenangan Golkar ini, membawa dampak yang lebih buruk pada  Negara Indonesia. setelah pemilu berlangsung banyak pemberontakan dimana-mana, pertiakaian, pertumpahan darah, terjadi di berbagai sudut Indonesia.
Dan benar saja pemberontakan pun terjadi dimana-mana puncaknya pada bulan Mei 1998, di Jakarta dengan sebuta tragedi Trisakti yang mengakibatkan beberapa mahasiswa meninggal karena pemerontakan tersebut. Soeharto dipaksa untuk mundur karena memang sudah benar-benar keterlaluan. Soeharto telah menghina bangsa Indonesia dengan ketidakjujuran dalam setiap pemilu. Soeharto mundur secara paksa pada tanggal 13 Mei 1998, dan kemudian bulan Agustusnya digantikan oleh presiden sementara yaitu BJ.Habibie.

2.4 Penyebab Kemenangan Partai Golkar Dalam Pemilu di Era Orde Baru
UUD 1945 tidak menyebut-nyebut adanya pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR. Oleh karena itu sejak mencanangkan berlakunya Demokrasi Terpimpin hingga ambruknya sistem politik itu, Presiden Soekarno tak pernah menggagas adanya pemilu. Berbeda dengan Soekarno, Soeharto berpandangan bahwa pemilu adalah sesuatu yang penting bagi legitimasi politik Orde Baru. Masalahnya adalah bagaimana agar hasil pemilu itu menunjukkan bahwa rakyat memilih dan merasa diwakili oleh komponen-komponen Orde Baru?
A.    Peraturan Monoloyalitas
Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepadaGolongan Karya. Setelah Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang pegawai negeri sipil bebas menentukan wadah aspirasi politiknya.

B.     Pilihan Strategis Rezim 
Pemerintah Orde Baru kemudian membuat dua keputusan penting: pertama, menjadwalkan Pemilu 1971; kedua, mengorganisasikan dan melaksanakan pemilu dengan cara-cara yang dapat menjamin mayoritas formasi DPR/MPR dikontrol langsung oleh Soeharto dan kolega politiknya.
Selanjutnya Soeharto yang sudah diangkat menjadi Pejabat Sementera Presiden menerapkan tiga strategi untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
1.      Pertama, pemerintah menciptakan organisasi peserta pemilu sendiri dengan memperbesar peran dan fungsi Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). 
2.      Kedua, karena partai politik menolak sistem distrik yang ditawarkan pemerintah, dan tetap ngotot untuk menggunakan sistem proporsional, maka sebagai solusinya disepakati apa yang disebut dengan ‘konsensus nasional’.
Dalam hal ini pemerintah setuju dengan sistem proporsional, sebaliknya partai politik harus merelakan pemerintah untuk mengangkat anggota DPR/MPR dari unsur ABRI dan kelompok-kelompok lain yang dianggap tidak terwakili di DPR. Ketiga,  guna menjamin kepastian kemenangan peserta pemilu bikinan pemerintah (Golkar), pemerintah tidak mau berbagi dengan partai politik dalam kepanitiaan pemilu sebagaimana terjadi pada Pemilu 1955. 
Bagaimana posisi, fungsi, struktur dan organisasi penyelenggara pemilu Orde Baru sehingga cukup efektif untuk membantu pemenangan Golkar dalam pemilu-pemilu Orde Baru? Jawaban dapat ditemukan dengan menelusuri ketentuan-ketentuan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat (UU No. 15/1969) yang disahkan pada 17 Desember 1969.   Undang-undang ini menyatakan, untuk melaksanakan pemilu presiden membentuk Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri.
Tugas Wewenang: 
Adapun tugas LPU meliputi:
1.      Merencanakan dan menyiapkan pelaksanaan pemilu;
2.      Memimpin dan mengawasi Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), Panitia Pemilihan Daerah I (PPD I), Panitia Pemilihan Daerah II (PPD II), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP);
3.      Mengumpulkan dan mensistemisasikan bahan-bahan dan data-data pemilu;
4.      Mengerjakan hal-hal yang dipandang perlu untuk melaksanakan pemilu.
PPI yang berkedudukan di Jakarta bertugas:
1.      Merencanakan dan mengawasi penyelenggaraan pemilu untuk DPR, DPRD I, DPRD II;
2.      Menyelenggarakan pemilu DPR.
PPD I yang berkedudukan di ibukota provinsi bertugas:
1.      Membantu tugas-tugas PPI;
2.      Mempersiapkan dan mengawasi penyelenggaraan pemilu untuk pemilihan anggota DPRD I dan DPRD II;
3.      Menyelenggarakan pemilu untuk DPRD I.
PPD II yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kotamadya, bertugas:
1.      Membantu tugas-tugas PPD I;
2.      Mmenyelenggarakan pemilu untuk DPRD II.
PPS yang berkedudukan di kecamatan bertugas:
1.      Membantu tugas-tugas PPD II;
2.      Menyelenggarakan pemungutan suara.
PPP yang berkedudukan di setiap desa bertugas:
1.      Membantu tugas-tugas PPS ;
2.      Menyelenggarakan pendaftaran pemilih.
UU No. 15/1969 juga menentukan bahwa Menteri Dalam Negeri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Lurah/Kepala Desa, masing-masing menjadi ketua dan merangkap anggota PPI, PPD I, PPD II, PPS dan PPP. Selanjutnya ditentukan, bahwa anggota-anggota PPI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Dalam Negeri; anggota-anggota PPD I dan PPD II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri atas usul Gubernur; dan anggota-anggota PPS dan PPP diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul Camat.
C.     Manipulasi Suara
Secara tekstual rumusan-rumusan tentang fungsi kepanitian pemilu pada setiap tingkatan itu memang masih memperlihatkan netralitasnya. Namun jika ditelusuri lebih jauh dan melihat praktek pelaksanaan pemilu, ketentuan-ketentuan tersebut sesungguhnya bias kepentingan Golkar yang juga tercatat sebagai peserta Pemilu 1971. Sebab, pejabat-pejabat pemerintah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pemilu adalah orang-orang yang juga ditunjuk sebagai fungsionaris Golkar pada setiap tingkatan.
Hal ini paling kentara jika dilihat pada proses penghitungan suara, sebagaimana diatur dalam dalam peraturan pemerintah. Inilah yang menyebabkan terjadinya kecurangan dan manipulasi penghitungan suara sebagaimana dilaporkan pada setiap kali pergelaran pemilu Orde Baru.
Sukses ‘mesin’ kepanitian Pemilu 1971 dalam memenangkan Golkar, membuat pemerintah Orde Baru mempertahankan ‘mesin’ tersebut pada pemilu-pemilu Orde Baru. Organisasi pemilu yang terdiri dari LPU, PPI, PPD I, PPD II, PPS dan PPP tidak diubah meskipun untuk kepentingan Pemilu 1977 diadakan perubahan undang-undang pemilu dalam Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang disahkan pada 25 November 1975 (UU No. 4/1975).
Perubahan undang-undang ini hanya untuk mengatur tentang peserta pemilu, yang semula terbuka bagi semua partai, tapi Pemilu 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta, yakni Golkar, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia.  Selanjutnya Golkar selalu mendominasi perolehan suara pada setiap kali pemilu.
Pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971, tidak saja disuarakan oleh mahasiswa, tokoh senior maupun pengamat, tetapi juga oleh partai-partai peserta pemilu. Meski kondisinya terus terdesak, PPP dan PDI tetap berkeras melancarkan protes. Terlebih atas berbagai pelanggaran dan kecurangan pemilu  yang terjadi pada Pemilu 1977. Rupanya protes-protes tersebut mendapat respon dari  pemerintah dan juga DPR yang didominasi oleh Golkar dan ABRI. Lalu, muncullah gagasan memperbaiki undang-undang pemilu yang bertujuan meningkatkan ‘kualitas’ pemilu berikutnya, yakni Pemilu 1982.

D.    Muslihat Panwaslak
Memenuhi tuntutan PPP dan PDI, maka pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitian pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu di samping LPU dan jajarannya. Badan baru ini bernama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu), yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu.
Rencana pelibatan partai dalam kepanitiaan pemilu dan pembentukan Panwaslak Pemilu tersebut diterima oleh DPR yang kemudian diformat ke dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 (UU No. 2/1980).
Namun kalau dicermati lebih jauh, sesungguhnya posisi dan fungsi  Panwaslak Pemilu dalam struktur kepanitiaan pemilu tidak jelas. Di satu pihak, Panwaslak Pemilu bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pemilu; tapi di lain pihak, Panwas Pemilu harus bertanggungjawab kepada ketua panitia pemilihan sesuai dengan tingkatannya, dalam hal ini Panwaslak Pemilu Pusat bertanggungjawab kepada Ketua PPI, Ketua Panwaslak Pemilu Daerah I bertanggungjawab kepada Ketua PPD I, Ketua Panwaslak Pemilu Daerah II bertanggungjawab kepada Ketua PPD II dan Panwaslak Pemilu Kecamatan bertanggungjawab kepada Ketua PPS. Ini artinya Panwaslak Pemilu adalah subordinat dari pantia pelaksana pemilu. Nah, bagaimana mungkin pengawasan bisa efektif berjalan, jika pengawas berada di bawah pihak yang diawasi?
Ketentuan-ketentuan tentang Panwaslak Pemilu dalam UU No. 2/1980 tidak menjelaskan ruang lingkup tugas pengawasan pemilu, tugas dan kewenangan pengawas pemilu, mekanisme dan prosedur penanganan pelanggaran, serta pengisian anggota dan penentuan pimpinan Panwas Pemilu. Soal-soal seperti itu diserahkan sepenuhnya pengaturannya kepada peraturan pemerintah. Namun peraturan pemerintah pun tidak mengatur secara rinci hal-hal tersebut, kecuali dalam soal pengisian anggota Panwaslak Pemilu dan penentuan pimpinannya.
Dalam peraturan pemerintah itu disebutkan bahwa Ketua Panwaslak Pemilu Pusat adalah Jaksa Agung dengan lima wakil ketua merangkap anggota, masing-masing adalah pejabat dari Departemen Dalam Negeri, ABRI, Golkar, PPP dan PDI. Begitu seterusnya pada tingkat bawah: Panwaslak Pemilu Daerah I diketuai oleh Kepala Kejaksaan Tinggi yang didampingi lima wakil ketua masing-masing dari Pemda Tingkat I, Kodam/Korem, DPD I Golkar, DPD PPP dan DPD PDI; Panwaslak Pemilu Daerah II diketuai oleh Kepala Kejaksaan Negeri yang didampingi lima wakil ketua masing-masing dari Pemda Tingkat II, Kodim, DPD II Golkar, DPC PPP dan DPC PDI; sedang Panwaslak Pemilu Kecamatan diketuai oleh pejabat kecamatan yang didampingi staf Koramil dan wakil-wakil dari Golkar, PPP dan PDI.
Dengan susunan dan struktur organisasi seperti itu, maka keberadaan pengawas pemilu yang semula diniatkan untuk mengontrol pelaksanaan pemilu agar kualitas pemilu lebih baik, tidak mungkin diwujudkan. Sebab, (sama dengan PPI, PPD I, PPD II, dan PPS) Panwaslak Pemilu Pusat, Panwaslak Pemilu Daerah I, Panwaslak Pemilu Daerah II, dan Panwaslak Pemilu Kecamatan, juga didominasi oleh aparat pemerintah yang tidak lain adalah para pendukung Golkar.
Yang terjadi sebaliknya, fungsi pengawasan oleh Panwaslak Pemilu justru diselewengkan untuk kepentingan pemenangan Golkar, dengan dua langkah sekaligus: pertama, Panwaslak Pemilu melegalkan kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh Golkar; kedua, Panwaslak Pemilu melakukan diskriminasi dalam menjalankan fungsi penegakkan hukum pemilu, karena hanya mengusut kasus-kasus yang dilakukan oleh peserta pemilu non-Golkar.

E.     Melegalkan Tindakan Golkar
Sebagai bagian dari ‘mesin’ pemenangan Golkar, keberadaan Panwaslak Pemilu memang cukup efektif, setidaknya telah mampu meredam protes-protes ketidakpuasan PPP dan PDI atas kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan yang terjadi, karena kasus-kasusnya sudah ‘ditangani’ Panwaslak Pemilu. Secara substansial, penanganan kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan pemilu memang tidak memuaskan PPP dan PDI. Akan tetapi secara prosedural Panwaslak Pemilu telah menjalankan tugasnya, sehingga semua pihak mau tidak mau mesti menerima hasil kerja Panwaslak Pemilu.
Demikianlah, maka keberadaan Panwaslak Pemilu selalu dipertahankan dalam pemilu-pemilu Orde Baru karena dirasa cukup efektif untuk mengatur dan mengendalikan kemenangan Golkar. Meski demikian, jejak lembaga pemilu adhoc yang dibentuk sejak Pemilu 1992 ini sebetulnya masih agak ‘misterius’, sebab sampai saat ini belum diketemukan laporan-laporan resmi yang mereka buat sebagaimana layaknya dilakukan oleh lembaga-lembaga negara lain.
Pada akhir 1984, untuk ketiga kalinya pemerintah mengajukan usul perubahan atas undang-undang pemilu. Usulan ini diterima DPR sehingga pada 7 Januari 1985 diberlakukanlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 (UU No. 1/1985).
Dalam undang-undang ini memang ada perubahan-perubahan ketentuan terhadap LPU dan panitia pelaksana pemilu, serta Panwaslak Pemilu. Namun perubahan-perubahan itu sifatnya hanya redaksional, sebatas penyesuaian dengan perkembangan hukum di wilayah lain. Secara substansial tidak ada yang berubah dengan posisi, fungsi, susunan dan struktur organisasi LPU/PPI dan jajarannya, demikian juga tak ada perubahan terhadap posisi, fungsi, susunan dan struktur organisasi Panwaslak Pemilu dan jajarannya. Dua ‘mesin’ pemenangan Golkar itu terus dipertahankan hingga Pemilu 1997, pemilu terakhir Orde Baru.


Faktor-Faktor lain atas kemenangan Golkar dalam pemilu pada zaman orde baru:
1. Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran birokrasi 
2. Orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi 
3. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis golkar, maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang merupakan basis golkar 
4. Birokrasi wajib mendukung golkar sebagai partai pemerintah begitu juga dengan kekuatan militer sebagai pendukung pemerintahan pada saat itu 
5. Anggota keluarga dari pegawai pemerintah pun harus mendukung golkar 



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mengingat orde baru pasti tidak lepas dari partai Golkar. Partai Golkar dapat memenangi setiap pemilu di orde baru karena adanya campur tangan dari pihak militer, birokrasi dan dari pihak Golkar sendiri. Dalam pelaksanaannya Golkar sebagai partai pemerintah tidak menjalankan pemerintahan secara fair play. Hal ini menyebabkan Golkar selalu menjadi pemenang dalam pemerintahan orde baru. Peran serta ABRI yang masuk ke berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam dunia bisnis. Hal ini juga didasari dengan Pasal 27 UUD 1945 Ayat 1 bahwasannya TNI dan Polri juga punya hak politik. Faktor lain yang menyebabkan Golkar selalu menang diantaranya sebagai berikut:
1.      Pilihan Strategis Rezim 
2.      Manipulasi Suara
3.      Muslihat Panwaslak
4.      Melegalkan Tindakan Golkar
5.      Peraturan Monoloyalitas bagi PNS

3.2 Saran
Saran terhadap kaum intelektual masa kini dan bagi siapapun yaitu kita sebagai kaum intelektual harus berani memerangi sesuatu yang menurut kita salah, kita tidak boleh takut pada para penguasa, karena mereka juga manusia biasa. Bila ada kejadian seperti Orde Baru lagi, kita harus kompak dan harus lebih cerdas daripada pemerintah, kita harus bisa meruntuhkan pemerintahan yang seperti itu, jumlah kita lebih banyak daripada para pemerintah itu. Intinya, kita tidak boleh selalu menurut kepada para penguasa karena penguasa itu tidak selamanya benar.



DAFTAR PUSTAKA

Fatah, Eep Saefulloh, Catatan  Atas  Gagalnya Politik Orde Baru. PUSTAKA PELAJAR. Yogyakarta .1998.

Gafar Afan, dkk, Orde Baru. CV RAMADHANI. Solo.1990

Suryadinata, Leo,Golkar dan Militer.LP3ES.Jakarta.1995

Suryadi, Budi, Kerangka Analisis Sistem Politik Indonesia.IRCISoD.Jogjakarta.2006






No comments:

Post a Comment

Novel Bahasa Jawa "Tresno Waranggono"

                                                                           Tresno Waranggono “ Theng-theng” swara bel muni, kang tandane w...