MAKALAH SEJARAH
PENYEBAB KEMENANGAN PARTAI GOLKAR DALAM PEMILU DI
ERA ORDE BARU
Kelompok 5
Anggota Kelompok:
1. Ahmad Nur Rifa’i (1)
2. Ayuk Sri Windarti (8)
3. Defi Fatikhatul Hidayah (11)
4. Eli Ermawati (18)
5. Ismi Nur Karomah (22)
6. Novita Koirun Nisa (30)
KELAS XII IPA 2
SMA NEGERI 1
JAKENAN
TAHUN PELAJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah
S.W.T. atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas membuat makalah yang berjudul “Kemenangan
Golkar dalam Pemilu di Era Orde Baru”.
Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mapel Sejarah.
Kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
kepada kami dalam membuat makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum maksimal dan
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukan, kritikan
dan saran yang membangun dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini. Kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca.
Jakenan, 5 Agustus 2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang.......................................................................................................... 1
1.2
Rumusan
Masalah.......................................................................................................1
1.3
Tujuan
Penulisan........................................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Partai Golkar............................................................................................... 2
2.2
Visi dan Misi Partai
Golkar....................................................................................... 3
2.3
Kemenangan Golkar dalam Enam Kali Pemilu.......................................................... 4
2.4
Penyebab Kemenangan Partai
Golkar Dalam Pemilu di Era Orde Baru..................... 8
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan…............................................................................................. 13
3.2
Saran.......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 14
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Partai politik merupakan suatu wadah
untuk masyarakat dalam berpartisipasi politik. Partai politik juga merupakan
sarana komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat. Peranan partai politik
sangat mempengaruhi sistem politik di suatu negara. Di Indonesia juga partai
politik dijadikan sebagai perantara antara pemerintah dengan warga
negara.Sebagai negara yang menganut demokrasi, partai politik di Indonesia juga
tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, itu terjadi sebelum runtuhnya Orde Lama.
Namun, pada era Orde Baru, partai politik tidak seberkembang pada masa Orde
Lama. Terkecuali partai Golkar, yang merupakan partai di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto.
Partai Golkar awalnya bernama Sekber
Golkar. Sekber ini merupakan perkumpulan dari golongan fungsional. Sekber
Golkar ini, pada mulanya tidak terkenal. Namun, pada saat Pemilihan Umum 1971
Sekber ini berubah menjadi partai politik setelah kemenangannya pada pemilu
tersebut. Setiap diadakannya Pemilihan Umum, partai ini selalu unggul di atas
lima puluh persen jauh melampaui target semula sampai pada tahun1998. Beberapa
pengamat melihat bahwa Golkar kini telah menjadi sebuah Institusi, tapi yang
lainnya meragukan bahwa ia bisa bertahan tanpa dukungan Presiden Soeharto. Partai
Golkar ini juga sangat diistimewakan oleh kalangan militer.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari
permasalahan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah sejarah perkembangan Sekber Golkar
setelah menjadi partai politik?
2.
Faktor apakah yang menyebabkan Golkar selalu unggul
dalam setiap pemilu pada era Orde Baru?
3.
Mengapa Partai Golkar sangat diistimewakan oleh
kalangan militer? Ada apa di balik pengistimewaan Partai Golkar dari pada
partai lainnya?
1.3 Tujuan
Penulisan
Dari
rumusan masalah diatas dapat ditentukan tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Mengetahui sejarah
perkembangan Sekber Golkar setelah menjadi partai politik
2. Mengetahui
faktor-faktor yang menjadikan Golkar selalu menang dalam setaip kali pemilu
pada era Orde Baru
3. Mengetahui
misteri Partai Golkar yang diistimewakan oleh kalangan militer dan mengetahui
yang apa yang ada di balik itu semua.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Sekber Golkar
Sejarah Partai Golkar bermula pada tahun 1964 dengan berdirinya Sekber
Golkar di masa akhir pemerintahan Presiden
Soekarno. Sekber Golkar didirikan oleh golongan militer, khususnya
perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol
Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita,
sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama.Golongan Karya
(Sekber Golkar).
Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964.
Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta
ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional
yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan
fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik
tertentu.Terpilih sebagai Ketua Pertama Sekber Golkar adalah Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum
digantikan Mayor Jenderal (Mayjen)
Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) 1, Desember
1965.
Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan
fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional
menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah
untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945.Semula anggotanya berjumlah 61
organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291organisasi.
Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian
dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk
Organisasi (KINO), yaitu:
1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong
(KOSGORO)
2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri
Indonesia (SOKSI)
3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
(MKGR)
4. Organisasi Profesi
5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
7. Gerakan Pembangunan
Untuk menghadapi Pemilu
1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut,
mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi
peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya
(GOLKAR). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai
sekarang. Pada Pemilu 1971 ini, Sekber GOLKAR ikut serta
menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan GOLKAR
sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik GOLKAR
kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai
pemenang. Mereka tidak menyadari kalau
perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke GOLKAR.
Hasilnya di luar dugaan. GOLKAR
sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari
total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh provinsi,
berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang
di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur,
PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak
memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.
Kemudian, sesuai ketentuan dalam
ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia,
pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi GOLKAR. GOLKAR
menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan
pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya.
September 1973, GOLKAR
menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono
terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan seiring
dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh
Indonesia (FBSI).Setelah Peristiwa G30S maka
Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan
militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI,
kemudian juga kekuatan Bung Karno.
Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD
merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru
diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama
puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif,
legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.
Keluarga besar Golongan Karya
sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan
informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan
birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga
jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina
yang mempunyai peran strategis. Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998,
keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa.
2.2 Visi dan Misi Partai
Golkar
Tujuan
Partai GOLKAR pada dasarnya adalah sama dengan tujuan sejak kelahirannya, yaitu
:
1.
Mempertahankan, mengamankan dan mengamalkan Pancasila
dan UUD 1945.
2.
Mewujudkan cita-cita bangsa sebagai mana di maksud
dalam UUD 1945.
3.
Menciptakan masyarakat adil dan makmur merata material
dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4.
Mewujudkan Kedaulatan Rakyat dalam rangka
mengembangkan kehidupan Demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi dan
menghormati kebenaran, keadilan, hukum dan hak asasi manusia.
Misi Partai GOLKAR
Misi yang
dikembangkan dalam perwujudan fungsinya selalu politik, yaitu :
1.
Mempertegas komitmen untuk menyerap, memadukan,
mengartikulasikan, dan memperjuangkan aspirasi serta kepentingan rakyat - khususnya
kelompok masyarakat yang berada pada posisi marginal yang selama ini kurang
mendapat perhatian dan acap kali menjadi korban pembangunan, sehingga menjadi
kebijakaan politik yang bersifat publik.
2.
Melakukan rekruitment kader yang berkualitas melalui
sistem prestasi dan mendapat dukungan rakyat untuk duduk dalam jabatan-jabatan
politik di lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan dan permerintahan.
Jabatan politik tersebut diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan dan
kesejahteraan rakyat.
3.
Meningkatkan proses pendidikan dan komunikasi politik
yang dialogos dan partisipatif, yaitu membuka diri terhadap berbagai pikiran,
aspirasi dan kritik dari masyarakat.
2.3 Kemenangan GOLKAR dalam Enam Kali Pemilu
Setelah Soekarno mundur secara terpaksa dan hancurnya PKI, militer menjadi
aktor politik terpenting saat itu, termasuk Soeharto yang merupakan dari
kalangan militer untuk menjadi presiden.
1.
Golkar dan Pemilu 1971
Pemerintah tampaknya telah
benar-benar siap untuk menghadapi pemilu. Partai pemmerintah, sekber Golkar,
telah membuat “akselerasi modernisasi” untuk Indonesia dalam jangka 25 tahun
mendatang sebagai tema pokok kampanye pemilu. Sekber Golkar yang menjadi simbol
dari pembangunan yang pesat dan modernisasi, menampilkan dirinya sebagai
alternatif satu-satunya untuk modernisasi Indonesia.
Ada yang harus diketahui tentang sekber Golkar pada
waktu itu:
a.
Sebelum pemilu 1971, terutama menyangkut
komponen-komponennya yang beragam. Setelah pertemuan di Hankam dan kekalahan
Kino untuk menjadi sebuah unit interdependen dalam pemilu, anggota kino,
khususnya Trikarya, tidak lagi aktif dalam masa persiapan pemilu. Benar bahwa
beberapa orang ketua Kino juga termasuk dalam kepemimpinan Golkar, tapi
tampaknya mereka tidak berpartisipasi aktif dalam kampanye. Golkar pun jatuh ke
tangan Moertopo.
b.
Kokarmendagri (Korps Karyawan Kementrian Luar Negeri),
tampak sekali faksi Moertopo-Soekawati berada di balik semua ini. Tujuannya
untuk menggalang dukungan kepada Golkar selama pemilu. Akan tetapi jauh sebelum
dibentuknya korps-korps karyawan ini, sudah ada kokarmendagri yang
cukup kuat. Tidak diragukan lagi bahwa kokarmendagri memberikan sumbangan yang
penting dalam kemenangan sekber Golkar pada pemilihan umum. Di samping itu
Kokarmendagri juga membuat peraturan untuk pegawai negeri, bahwa pegawai negeri
harus memiliki “mono-loyalitas”, dan pegawai negri tidak boleh menjadi anggota
partai manapun. Ketika pemilihan umum semua pegawai negri di instruksikan untuk
memilih sekber Golkar.
c.
Pejabat-pejabat Militer dan para kepala desa
dimobilisasi untuk menjamin agar penduduk desa memilih Golkar. Namun demikian,
pejabat-pejabat Militer lokal sering bertindak secara interdependen dari Bapilu
untuk menunjukan bahwa mereka memiliki ekuatan pemilu di atasnya.
Hasil dari
itu semua, Golkar memenangkan pemilu periode 1971. Setelah pemilu sekber Golkar
melakukan reorganisasi termasuk merubah namanya menjadi Golkar. Sebuah
publikasi Golkar menyatakan bahwa presiden Soeharto telah dimintai saran
tentang reorganisasi itu melau Letjen Darjatmo yang kemudian menyampaikan
petunjuk Soeharto kepada Golkar. Itu berarti Soeharto telah terlibat dalam
proses itu. Sangat mencurigakan lagi pada saat akan diadakan Munas pertama
setelah pemilu ketua Golkar Sokowati meninggal dunia.
Setelah tiga
tahun pemilu tepatnya pada tanggal 15 Januari 1974, terjadi sebuah kerusuhan
yang dikenal dengan keruseuhan 15 januari atau Malari. Kerusuhan itu dipicu
karena penguasa dinilai terlalu membuka diri pada asing, terutama pada Jepang.
Pemerintah orde Baru pimpinan Soeharto telah melanggar aturan Demokrasi.
2.
Golkar dan Pemilu 1977
Oposisi
terhadap pemerintahan Soeharto mulai muncul setelah pemilu 1971, terutama dari
mahasiswa, kelompok-kelompok Muslim, dan para cendekiawan, dengan dukungan dari
suatu lapisan tertentu dikalangan militer. Oposisi ini muncul
kembali menjelang akhir 1977. Oposisi paling mencolok berasal dari kalangan
Mahasiswa. Mereka bersikap kritis terhadap kebijaksanaan pembangunan yang
diterapkan pemerintah dan meluasnya kesenjangan pendapatan. Mereka juga mengecam
pemerintah karena telah berjangkitnya korupsi.
Pada pemilu
tahun 1977 ini ada tiga partai yang mengikuti pemilihan, pertama Partai
Persatuan Pembangunan, kedua Partai Demokrasi Indonesia, dan yang terakhir
Golkar
Pada pemilu 1977 in juga mengandung unsur kejanggalan,
yaitu:
a.
Golkar menyatukan berbagai unsur kekuatan politik
terhadap partai lawan, yang memungkinkan konflik internal yang semakin besar,
sehingga Golkar menjadi pemenang dalam pemilu.
b. Pemerintah
Orde Baru juga melakukan intervensi politik kedalam partai, agar partai selalu
dalam keadaan “mandul”. Misalkan saja, pemerintah melarang Guruh Soekarnoputra
untuk menjadi juru kampanye PDI, rezim khawatir kalau kharisma Soekarno muncul
melalui Guruh. Rhoma Irama pun dilarang berkampanye untuk memenangkan PPP. Ini
dimaksudkan agar pemikiran rakyat hannya tertuju pada Golkar.
c. Adanya
pertemuan selama tiga hari yang membahas masalah-masalah yang ada. Ada
spekulasi bahwa beberapa orang jenderal tidak setuju dengan Soeharto tetapi
akhirnya mau setelah dibujuk untuk memberikan dukungan mereka.
d. Adanya
penahanan yang dilakukan pemerintah terhadap mahasiswa ataupun kaum muslim yang
melakukan perlawanan.
e. Menjelang
pemilu calon presiden hanya satu-satunya yaitu Soeharto, mereka cukup berhasil
dalam mengendalikan situasi.
f.
Kabinet baru Soeharto berasal dari kalangan militer
dan sipil, Soeharto tidak menggunakan kelompok Golkar lama.
Setelah
pemilu berlangsung, para pengkritik pemerintah mengadakan sebuah kongres yaitu
kongres Kosgoro, pada kongres yang ke empat kalinya ini, ketua umum kongres
Kosgoro berkomentar bahwa kaum intelektual Indonesia harus berorientasi pada
rakyat, dan sebagai negara konstitusional Undang-undang harus ditegakkan,
hubungan antara Golkar, Militer dan Pemerintahpun harus diperbaiki dan Golkar
tidak perlu bergantung pada militer dan pemerintah.
3.
Golkar dan Pemilu 1982
Pemilu 1977
telah memenangkan Soeharto sebagai Presiden semakin memperkuat
posisi Golkar. Pada saat yang sama, pemerintah menjadi semakin terlibat pada
masalah stabilitas politik dan kemudian memperkenalkan pengawasan yang lebih
ketat terhadap oposisi, khusunya dari Mahasiswa dan kelompok-kelompok Islam.
Despolitisi Mahasiswa dan pengawasan terhadap pengaruh Islam poitik adalah dua
langkah yang diambil pemerintah.
Pemerintah
mengeluarkan RUU NKK (Rancangan Undang Undang Normalisasi Kehidupan Kampus),
RUU NKK itu berisi tentang Mahasiswa yang tidak perlu untuk mengikuti kegiatan
di luar kampus. Pemerintah berusaha untuk mengganti dewan-dewan dengan pilihan
rektor, mahasiswa menganggap bahwa pemerintah akan mengganti dewan-dewan dengan
dewan-dewan baru yang pro-pemerintah. Ini semua semakin membuat mahasiswa
berontak.
Pada awal
1982 keputusan presiden tentang kampanye dikeluarkan, peraturan ini mulai
diberlakukan sejak 5 Januari 1982. Peraturan ini semakin ketat dari peraturan
sebelumnya, yaitu sebagai berikut:
a.
Peraturan ini menetapkan bahwa kontestan harus
menyerahkan rencana kampanyenya tujuh hari sebelum proses kampanye dimulai.
b.
Proses kampanye hanya berlangsung 14 hari.
c.
Banak calon-calon yang dibatalkan karena pejabat yang
menyeleksi tidak suka.
d.
Menteri Penerangan Moertopo mendesak kepada anggota
Korpri untuk melakukan kampanye dikalangan mereka sendiri untuk memilih Golkar.
Selain itu Moertopo juga menginstruksikan kepada para pejabat jajaran
penerangan di daerah untuk memilih Golkar, jika tidak memilih Golkar mereka
tidak Loyal
e.
Sebelum pemilu 1982 pemerintah telah mengangkat kepala
desa menjadi pagawai negeri, dengan itu kepala desa telah menjadi bagian dari
anggota korpri, sebuah strategi efektif yang dilakukan pemerintah karena sistem
“bapak-anak” masih mengakar kuat.
Terdapat
perasaan yang tidak puas dikalangan masyarakat terutama yang sadar politik,
sempat terpikir oleh mereka untuk untuk mencipatakan golongan putih, tapi
akhirnya mereka juga ikut untuk berpartisipasi dalam “pesta demokrasi”
tersebut. Hasil dari pemilu itu Golkar tetap menjadi yang terdepan.
4.
Golkar dan Pemilu 1987
Pemerintahan
tahun 1982-1987 telah menyampaikan lima RUU tentang pancasila yang akan diamandemen,
RUU itu yaitu, RUU pemilu, RUU DPR/MPR, RUU amandemen parpol dan Golkar, RUU
Referendum, RUU Organisasi Massa. RUU itu disampaikan oleh mentri dalam negri
dengan embel-embel bahwa RUU itu sangat penting untuk kehidupan bangsa dan
negara dan kelangsungan dari apa yang disebut dengan “demokrasi Pancasila”
Jika
pemerintah telah sukses dengan RUU Pancasilanya, Golkar juga telah sukses
mereorganisasikan dirinya, dan mentransforasikan menjadi semacam “partai
kader”. Ini dimaksudkan untuk membuat organisasi itu sebagai gerakan politik
yang lebih efektif di bawah kendali Soeharto pribadi. Dalam mereorganisasikan
dirinya Golkar juga telah mendapatkan Ketua Umum baru yaitu Soedharmono. Di
bawah kepemimpinan Soedharmono, cara mengrekrut kader pun menggunakan cara
baru, yaitu pendaftaran untuk menjadi kader itu dilakukan secara sukarela. Akan
tetapi meskipun begitu para pegawai negeri kebanyakan memilih Golkar daripada
partai politik.
Untuk maju
pada pemilu 1987 Golkar telah siap. Apalagi setelah disahkannya reorganisasi
Golkar dan disahkannya Undang-Undang yang berhubungan dengan Pancasila.
Golkar juga
merubah strategi berkampanyenya, yaitu memberikan peluang yang lebih besar
kepada wanita dan calon-calon di bawah usia 40 tahun. Meningkatnya calon-calon
wanita dan usia muda dalam daftar Golkar dimaksudkan untuk menarik dukungan
dari pemilih wanita dan usia muda yang jumlahnya 20% dari populasi pemilih.
Dalam
berkampanye pun Golkar sangat di untungkan, pertama dengan adanya tentara di
balakang Golkar kemenangan pemilu 1987 pun semakin tidak diragukan lagi. Kedua
sebagai partai oemerintah Golkar telah diberi fasilitas-fasilitas resmi jauh
sebelum kampanye dimulai, ketiga pemerintah menggunakan jabatannya untuk
berkampanye kepada anak buahnya, keempat di desa-desa pemerintah memasang
listrik dan air minum, untuk meraih simpati dari rakyat, dan kemudian rakyat
memilih Golkar pada pemilu 1987.
Pada pemilu
tahun 1987 peranan tentara tidak begitu mencolok selama berlangsungnya pemilu.
Beberapa pengamat mengatakan bahwa pemilu kali ini merupakan pemilu yang peling
netral karena tentara bediri di atas semua pihak. Namun, tetap Golkar yang
memenangkan pemilu.
5.
Golkar dan Pemilu 1992
Politik
Indonesia dan khususnya Golkar telah mengalami perkembangan yang baru. Dengan
mundurnya angkatan 45 ABRI sebagai pemimpin tampaknya pengaruh presiden
Soeharto tidak sebesar dulu. Di samping itu, ABRI tidak lagi sekompak dulu, dan
dukungan ABRI terhadap presiden pun tidak sebulat dulu. Menghadapi pemilu 1992
Presiden Soeharto menginginkan dukungan lebih banyak dari golongan Islam. Maka
pemerintah pun semakin gencar mencari langkah-langkah untuk merangkul golongan
Islam, yang antara lain dengan cara perginya presiden sekeluarga untuk
menunaikan ibadah haji serta didirikannya Bank Muamalat Indonesia.
Tidak bisa
disangkal lagi Golkar telah mempersiapkan diri untuk menggoyang pemilu 1992.
Dipimpin oleh Soeharto pada tahun 1990 Golkar mengadakan rapim Golkar selama
empat hari. Soeharto menegaskan bahwa pemilu 1992 bukanlah sekedar ajang
kegiatan untuk memperoleh jumlah suara tetapi harus melakukan kegiatan utama
yaitu melakukan peran pembangunan dan modernisasi. Dengan kata lain bahwa
Golkar akan memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Golkar juga tidak akan menjaga
jarak dengan ABRI maupun Birokrasi, karena Golkar akan mempertahankan
hubungannya seperti selama ini. Namun, sikap ABRI terhadap Golkar kurang
kompak. Ada sebagian pensiuanan ABRI yang bergabung dengan PDI.
Pada
pemilihan calon legislatif, Golkar mempunyai strategi baru, yaitu dengan
mencoret calon yang terlampau vokal dan latar belakangnya tidak seuai. Ada
beberapa calon yang berasal dari kalangan Birokrasi dan ABRI yng tersingkir.
Rupanya presiden dalam pemilu keli ini lebih menitik beratkan pada calon yang
beragama Islam.
Pada tanggal
9 Juni pemilu dilaksanakan,. 90,91% pemilih telah melakukan pemilihan.
Prosesnya cukup lancar meskipun bentrokan dimana-mana. Ada yang beranggapan
bahwa lancarnya pemilu kali ini adalah karena sikap netralnya ABRI ketika
pemilu berlangsung.
Golkar
menang kembali dalam pemilu kali ini, dengan memperoleh 68,1%suara, ini
melenceng dari target karena ketidaksenangan pemilih di kota-kota terhadap
kesenjangan ekonomi dan sosial selama ini. Golkar menang juga karena masih
adanya tekanan halus dari pemerintah pada pegawai negri untuk memilih Golkar.
6.
Golkar dan Pemilu 1997
Politik
tahun 1995 boleh jadi dibilang sebuah politik yang menggairahkan. Sejumlah
polemik yang di antaranya adalah suksesi, partai yang di pinggirkan, kekebalan
hukum pejabat, bisnis anak pejabat (pembangunan Tol oleh anak Presiden
Soeharto), kabinet yang tak kompak dan lain-lain. Selain itu juga ada
kejutan-kejutan dari istana yakni, anggota F-ABRI dipangkas menjadi 25%, sistem
pemilu dan dwifungsi ABRI diteliti, dan konflik-konfik NU dan PDI semakin
berkepanjangan.
Pada tahun
1996 merupakan warning up menuju pemilu 1997, ditahun1996
dilakukan pendaftaran pemilih, menetapkan calon jumlah DPR dan DPRD dan
pengajuan calon legislatif periode 1997-2002.
Golkarpun
sudah melakukan persiapan, persiapannya sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya
yakni, dengan merekrut calon terutama golongan kaum wanita, calon-calon muda
dan calon-calon yang beragama Islam. Meskipun telah memangkas anggota ABRI,
Golkar tidak kehilangan banyak suara justru Golkar menang kembali sesuai dengan
prediksi masyarakat di dalam maupaun di luar negeri. Dengan berkampanye
menggunakan cara mengiming-imingi akan memberantas korupsi dan kolusi, kemudian
dengan mengumbar janji bahwa jika Golkar menang akan menghayati demokrasi secara
benar. Golkar memperoleh suara 74% dari total keseluruhan. Presiden Soeharto
pun merasa senang akan kemenangan tersebut. Namun, kemenangan Golkar ini,
membawa dampak yang lebih buruk pada Negara Indonesia. setelah
pemilu berlangsung banyak pemberontakan dimana-mana, pertiakaian, pertumpahan
darah, terjadi di berbagai sudut Indonesia.
Dan benar
saja pemberontakan pun terjadi dimana-mana puncaknya pada bulan Mei 1998, di
Jakarta dengan sebuta tragedi Trisakti yang mengakibatkan beberapa mahasiswa
meninggal karena pemerontakan tersebut. Soeharto dipaksa untuk mundur karena
memang sudah benar-benar keterlaluan. Soeharto telah menghina bangsa Indonesia
dengan ketidakjujuran dalam setiap pemilu. Soeharto mundur secara paksa pada
tanggal 13 Mei 1998, dan kemudian bulan Agustusnya digantikan oleh presiden
sementara yaitu BJ.Habibie.
2.4 Penyebab Kemenangan Partai Golkar Dalam Pemilu di
Era Orde Baru
UUD 1945 tidak menyebut-nyebut adanya pemilu untuk
memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR. Oleh karena itu sejak
mencanangkan berlakunya Demokrasi Terpimpin hingga ambruknya sistem politik
itu, Presiden Soekarno tak pernah menggagas adanya pemilu. Berbeda dengan
Soekarno, Soeharto berpandangan bahwa pemilu adalah sesuatu yang penting bagi
legitimasi politik Orde Baru. Masalahnya adalah bagaimana agar hasil pemilu itu
menunjukkan bahwa rakyat memilih dan merasa diwakili oleh komponen-komponen
Orde Baru?
A. Peraturan Monoloyalitas
Peraturan Monoloyalitas merupakan
kebijakan pemerintahan Orde Baru yang
mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi
politiknya kepadaGolongan Karya. Setelah Suharto mengundurkan
diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang
pegawai negeri sipil bebas menentukan wadah aspirasi politiknya.
B. Pilihan Strategis Rezim
Pemerintah Orde Baru kemudian
membuat dua keputusan penting: pertama, menjadwalkan Pemilu 1971; kedua,
mengorganisasikan dan melaksanakan pemilu dengan cara-cara yang dapat menjamin
mayoritas formasi DPR/MPR dikontrol langsung oleh Soeharto dan kolega
politiknya.
Selanjutnya Soeharto yang sudah
diangkat menjadi Pejabat Sementera Presiden menerapkan tiga strategi untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut.
1. Pertama,
pemerintah menciptakan organisasi peserta pemilu sendiri dengan memperbesar
peran dan fungsi Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
2. Kedua,
karena partai politik menolak sistem distrik yang ditawarkan pemerintah, dan
tetap ngotot untuk menggunakan sistem proporsional, maka sebagai solusinya
disepakati apa yang disebut dengan ‘konsensus nasional’.
Dalam hal ini pemerintah setuju
dengan sistem proporsional, sebaliknya partai politik harus merelakan
pemerintah untuk mengangkat anggota DPR/MPR dari unsur ABRI dan
kelompok-kelompok lain yang dianggap tidak terwakili di DPR. Ketiga, guna
menjamin kepastian kemenangan peserta pemilu bikinan pemerintah (Golkar),
pemerintah tidak mau berbagi dengan partai politik dalam kepanitiaan pemilu sebagaimana
terjadi pada Pemilu 1955.
Bagaimana posisi, fungsi, struktur
dan organisasi penyelenggara pemilu Orde Baru sehingga cukup efektif untuk
membantu pemenangan Golkar dalam pemilu-pemilu Orde Baru? Jawaban dapat
ditemukan dengan menelusuri ketentuan-ketentuan Undang-undang Nomor 15 Tahun
1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan
Rakyat (UU No. 15/1969) yang disahkan pada 17 Desember 1969.
Undang-undang ini menyatakan, untuk melaksanakan pemilu presiden membentuk Lembaga
Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri.
Tugas Wewenang:
Adapun tugas LPU meliputi:
1. Merencanakan
dan menyiapkan pelaksanaan pemilu;
2. Memimpin dan
mengawasi Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), Panitia Pemilihan Daerah I (PPD
I), Panitia Pemilihan Daerah II (PPD II), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan
Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP);
3. Mengumpulkan
dan mensistemisasikan bahan-bahan dan data-data pemilu;
4. Mengerjakan
hal-hal yang dipandang perlu untuk melaksanakan pemilu.
PPI yang
berkedudukan di Jakarta bertugas:
1. Merencanakan
dan mengawasi penyelenggaraan pemilu untuk DPR, DPRD I, DPRD II;
2. Menyelenggarakan
pemilu DPR.
PPD I yang berkedudukan di ibukota
provinsi bertugas:
1. Membantu
tugas-tugas PPI;
2. Mempersiapkan
dan mengawasi penyelenggaraan pemilu untuk pemilihan anggota DPRD I dan
DPRD II;
3. Menyelenggarakan
pemilu untuk DPRD I.
PPD II yang berkedudukan di ibukota
kabupaten/kotamadya, bertugas:
1. Membantu
tugas-tugas PPD I;
2. Mmenyelenggarakan
pemilu untuk DPRD II.
PPS yang berkedudukan di kecamatan
bertugas:
1. Membantu
tugas-tugas PPD II;
2. Menyelenggarakan
pemungutan suara.
PPP yang berkedudukan di setiap desa
bertugas:
1. Membantu
tugas-tugas PPS ;
2. Menyelenggarakan
pendaftaran pemilih.
UU No. 15/1969 juga menentukan bahwa Menteri Dalam
Negeri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Lurah/Kepala Desa, masing-masing
menjadi ketua dan merangkap anggota PPI, PPD I, PPD II, PPS dan PPP.
Selanjutnya ditentukan, bahwa anggota-anggota PPI diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Menteri Dalam Negeri; anggota-anggota PPD I dan PPD II
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri atas usul Gubernur; dan
anggota-anggota PPS dan PPP diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota
atas usul Camat.
C. Manipulasi Suara
Secara tekstual rumusan-rumusan
tentang fungsi kepanitian pemilu pada setiap tingkatan itu memang masih memperlihatkan
netralitasnya. Namun jika ditelusuri lebih jauh dan melihat praktek pelaksanaan
pemilu, ketentuan-ketentuan tersebut sesungguhnya bias kepentingan Golkar yang
juga tercatat sebagai peserta Pemilu 1971. Sebab, pejabat-pejabat pemerintah
yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pemilu adalah orang-orang yang juga
ditunjuk sebagai fungsionaris Golkar pada setiap tingkatan.
Hal ini paling kentara jika dilihat
pada proses penghitungan suara, sebagaimana diatur dalam dalam peraturan
pemerintah. Inilah yang menyebabkan terjadinya kecurangan dan manipulasi
penghitungan suara sebagaimana dilaporkan pada setiap kali pergelaran pemilu
Orde Baru.
Sukses ‘mesin’ kepanitian Pemilu
1971 dalam memenangkan Golkar, membuat pemerintah Orde Baru mempertahankan ‘mesin’
tersebut pada pemilu-pemilu Orde Baru. Organisasi pemilu yang terdiri dari LPU,
PPI, PPD I, PPD II, PPS dan PPP tidak diubah meskipun untuk kepentingan Pemilu
1977 diadakan perubahan undang-undang pemilu dalam Nomor 4 Tahun 1975 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum
Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang disahkan pada 25
November 1975 (UU No. 4/1975).
Perubahan undang-undang ini hanya
untuk mengatur tentang peserta pemilu, yang semula terbuka bagi semua partai,
tapi Pemilu 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta, yakni Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia. Selanjutnya Golkar
selalu mendominasi perolehan suara pada setiap kali pemilu.
Pelanggaran dan manipulasi penghitungan
suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971, tidak saja
disuarakan oleh mahasiswa, tokoh senior maupun pengamat, tetapi juga oleh
partai-partai peserta pemilu. Meski kondisinya terus terdesak, PPP dan PDI
tetap berkeras melancarkan protes. Terlebih atas berbagai pelanggaran dan
kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977. Rupanya protes-protes
tersebut mendapat respon dari pemerintah dan juga DPR yang didominasi
oleh Golkar dan ABRI. Lalu, muncullah gagasan memperbaiki undang-undang pemilu
yang bertujuan meningkatkan ‘kualitas’ pemilu berikutnya, yakni Pemilu 1982.
D. Muslihat Panwaslak
Memenuhi tuntutan PPP dan PDI, maka
pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitian
pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan
terlibat dalam urusan pemilu di samping LPU dan jajarannya. Badan baru ini
bernama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu), yang
bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu.
Rencana pelibatan partai dalam
kepanitiaan pemilu dan pembentukan Panwaslak Pemilu tersebut diterima oleh DPR
yang kemudian diformat ke dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum
Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana Telah
Diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 (UU No. 2/1980).
Namun kalau dicermati lebih jauh,
sesungguhnya posisi dan fungsi Panwaslak Pemilu dalam struktur
kepanitiaan pemilu tidak jelas. Di satu pihak, Panwaslak Pemilu bertugas untuk
mengawasi pelaksanaan pemilu; tapi di lain pihak, Panwas Pemilu harus
bertanggungjawab kepada ketua panitia pemilihan sesuai dengan tingkatannya,
dalam hal ini Panwaslak Pemilu Pusat bertanggungjawab kepada Ketua PPI, Ketua
Panwaslak Pemilu Daerah I bertanggungjawab kepada Ketua PPD I, Ketua Panwaslak
Pemilu Daerah II bertanggungjawab kepada Ketua PPD II dan Panwaslak Pemilu
Kecamatan bertanggungjawab kepada Ketua PPS. Ini artinya Panwaslak Pemilu
adalah subordinat dari pantia pelaksana pemilu. Nah, bagaimana mungkin
pengawasan bisa efektif berjalan, jika pengawas berada di bawah pihak yang
diawasi?
Ketentuan-ketentuan tentang
Panwaslak Pemilu dalam UU No. 2/1980 tidak menjelaskan ruang lingkup tugas
pengawasan pemilu, tugas dan kewenangan pengawas pemilu, mekanisme dan prosedur
penanganan pelanggaran, serta pengisian anggota dan penentuan pimpinan Panwas
Pemilu. Soal-soal seperti itu diserahkan sepenuhnya pengaturannya kepada
peraturan pemerintah. Namun peraturan pemerintah pun tidak mengatur secara
rinci hal-hal tersebut, kecuali dalam soal pengisian anggota Panwaslak Pemilu
dan penentuan pimpinannya.
Dalam peraturan pemerintah itu
disebutkan bahwa Ketua Panwaslak Pemilu Pusat adalah Jaksa Agung dengan lima
wakil ketua merangkap anggota, masing-masing adalah pejabat dari Departemen
Dalam Negeri, ABRI, Golkar, PPP dan PDI. Begitu seterusnya pada tingkat bawah:
Panwaslak Pemilu Daerah I diketuai oleh Kepala Kejaksaan Tinggi yang didampingi
lima wakil ketua masing-masing dari Pemda Tingkat I, Kodam/Korem, DPD I Golkar,
DPD PPP dan DPD PDI; Panwaslak Pemilu Daerah II diketuai oleh Kepala Kejaksaan
Negeri yang didampingi lima wakil ketua masing-masing dari Pemda Tingkat II,
Kodim, DPD II Golkar, DPC PPP dan DPC PDI; sedang Panwaslak Pemilu Kecamatan
diketuai oleh pejabat kecamatan yang didampingi staf Koramil dan wakil-wakil
dari Golkar, PPP dan PDI.
Dengan susunan dan struktur
organisasi seperti itu, maka keberadaan pengawas pemilu yang semula diniatkan
untuk mengontrol pelaksanaan pemilu agar kualitas pemilu lebih baik, tidak
mungkin diwujudkan. Sebab, (sama dengan PPI, PPD I, PPD II, dan PPS) Panwaslak
Pemilu Pusat, Panwaslak Pemilu Daerah I, Panwaslak Pemilu Daerah II, dan
Panwaslak Pemilu Kecamatan, juga didominasi oleh aparat pemerintah yang tidak
lain adalah para pendukung Golkar.
Yang terjadi sebaliknya, fungsi
pengawasan oleh Panwaslak Pemilu justru diselewengkan untuk kepentingan
pemenangan Golkar, dengan dua langkah sekaligus: pertama, Panwaslak Pemilu
melegalkan kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh Golkar;
kedua, Panwaslak Pemilu melakukan diskriminasi dalam menjalankan fungsi
penegakkan hukum pemilu, karena hanya mengusut kasus-kasus yang dilakukan oleh
peserta pemilu non-Golkar.
E. Melegalkan Tindakan Golkar
Sebagai bagian dari ‘mesin’
pemenangan Golkar, keberadaan Panwaslak Pemilu memang cukup efektif, setidaknya
telah mampu meredam protes-protes ketidakpuasan PPP dan PDI atas kasus-kasus
pelanggaran dan kecurangan yang terjadi, karena kasus-kasusnya sudah
‘ditangani’ Panwaslak Pemilu. Secara substansial, penanganan kasus-kasus
pelanggaran dan kecurangan pemilu memang tidak memuaskan PPP dan PDI. Akan
tetapi secara prosedural Panwaslak Pemilu telah menjalankan tugasnya, sehingga
semua pihak mau tidak mau mesti menerima hasil kerja Panwaslak Pemilu.
Demikianlah, maka keberadaan
Panwaslak Pemilu selalu dipertahankan dalam pemilu-pemilu Orde Baru karena
dirasa cukup efektif untuk mengatur dan mengendalikan kemenangan Golkar. Meski
demikian, jejak lembaga pemilu adhoc yang dibentuk sejak
Pemilu 1992 ini sebetulnya masih agak ‘misterius’, sebab sampai saat ini belum
diketemukan laporan-laporan resmi yang mereka buat sebagaimana layaknya
dilakukan oleh lembaga-lembaga negara lain.
Pada akhir 1984, untuk ketiga
kalinya pemerintah mengajukan usul perubahan atas undang-undang pemilu. Usulan
ini diterima DPR sehingga pada 7 Januari 1985 diberlakukanlah Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969
tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat
sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 dan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 (UU No. 1/1985).
Dalam undang-undang ini memang ada
perubahan-perubahan ketentuan terhadap LPU dan panitia pelaksana pemilu, serta
Panwaslak Pemilu. Namun perubahan-perubahan itu sifatnya hanya redaksional,
sebatas penyesuaian dengan perkembangan hukum di wilayah lain. Secara
substansial tidak ada yang berubah dengan posisi, fungsi, susunan dan struktur
organisasi LPU/PPI dan jajarannya, demikian juga tak ada perubahan terhadap
posisi, fungsi, susunan dan struktur organisasi Panwaslak Pemilu dan
jajarannya. Dua ‘mesin’ pemenangan Golkar itu terus dipertahankan hingga Pemilu
1997, pemilu terakhir Orde Baru.
Faktor-Faktor lain atas kemenangan Golkar dalam
pemilu pada zaman orde baru:
1. Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran birokrasi
2. Orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi
3. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis golkar, maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang merupakan basis golkar
4. Birokrasi wajib mendukung golkar sebagai partai pemerintah begitu juga dengan kekuatan militer sebagai pendukung pemerintahan pada saat itu
5. Anggota keluarga dari pegawai pemerintah pun harus mendukung golkar
1. Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran birokrasi
2. Orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi
3. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis golkar, maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang merupakan basis golkar
4. Birokrasi wajib mendukung golkar sebagai partai pemerintah begitu juga dengan kekuatan militer sebagai pendukung pemerintahan pada saat itu
5. Anggota keluarga dari pegawai pemerintah pun harus mendukung golkar
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mengingat
orde baru pasti tidak lepas dari partai Golkar. Partai Golkar dapat memenangi
setiap pemilu di orde baru karena adanya campur tangan dari pihak militer,
birokrasi dan dari pihak Golkar sendiri. Dalam pelaksanaannya Golkar sebagai
partai pemerintah tidak menjalankan pemerintahan secara fair play. Hal ini menyebabkan Golkar selalu menjadi pemenang dalam
pemerintahan orde baru. Peran serta ABRI yang masuk ke berbagai sektor
kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam dunia bisnis. Hal ini juga
didasari dengan Pasal 27 UUD 1945 Ayat 1 bahwasannya TNI dan Polri juga punya
hak politik. Faktor lain yang menyebabkan Golkar selalu menang diantaranya
sebagai berikut:
1. Pilihan Strategis Rezim
2. Manipulasi Suara
3. Muslihat Panwaslak
4. Melegalkan Tindakan Golkar
5.
Peraturan Monoloyalitas bagi PNS
3.2 Saran
Saran
terhadap kaum intelektual masa kini dan bagi siapapun yaitu kita sebagai kaum
intelektual harus berani memerangi sesuatu yang menurut kita salah, kita tidak
boleh takut pada para penguasa, karena mereka juga manusia biasa. Bila ada
kejadian seperti Orde Baru lagi, kita harus kompak dan harus lebih cerdas
daripada pemerintah, kita harus bisa meruntuhkan pemerintahan yang seperti itu,
jumlah kita lebih banyak daripada para pemerintah itu. Intinya, kita tidak
boleh selalu menurut kepada para penguasa karena penguasa itu tidak selamanya
benar.
DAFTAR PUSTAKA
Fatah, Eep
Saefulloh, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde
Baru. PUSTAKA PELAJAR. Yogyakarta .1998.
Gafar Afan,
dkk, Orde Baru. CV RAMADHANI. Solo.1990
Suryadinata,
Leo,Golkar dan Militer.LP3ES.Jakarta.1995
Suryadi,
Budi, Kerangka Analisis Sistem Politik Indonesia.IRCISoD.Jogjakarta.2006
No comments:
Post a Comment